Musim kemarau di Lamalera yang terletak di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih panjang dibandingkan musim penghujan. Akibatnya warga pun tak terlalu banyak berharap dari perkebunan. Di tengah kondisi georafis itu, Paus menjadi harapan hidup warga Lamalera.
Saya tiba di Lembata - salah satu pulau dalam gugusan Flores Nusa Tenggara Timur (NTT) – saat kemarau melanda. Panas terik matahari begitu terasa di dalam kabin mobil bergardan ganda milik Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat yang mengantar saya ke penginapan. Sepanjang perjalanan, Kepala Dinas KKP setempat, AA. Amuntoda bercerita tentang rumput dan pepohonan yang banyak terbakar disisi kanan dan kiri jalan. Kebakaran itu menurutnya dikarenakan pengendara mobil atau motor yang membuang rokok secara sembarangan. Namun pohon dan rumput yang terbakar bisa juga kesengajaan yang dilakukan oleh para pemburu rusa. Dengan membakar rumput dan pepohonan, rusa akan berkumpul pada titik tertentu. Daging rusa konon sangat enak untuk dikonsumsi, karena itu binatang bertanduk cabang itu menjadi buruan utama di Lembata.
Jalan yang tandus berdebu terus kami lewati. Pun halnya dengan sungai yang surut. Amuntoda terus melanjutkan ceritanya kepada saya. Dikatakannya, jika saja saya datang dalam musim penghujan, maka kondisinya akan berbeda jauh. Alam Lembata yang berkontur pegunungan bersanding dengan lautan akan lebih tampak seperti alam Eropa. Dalam bayangan saya, pendapat itu ada benarnya. Bayangkan, gunung dengan rerumputan dan pepohonan hijau berpadu dengan ternak warga seperti sapi, kambing dan babi berada dalam satu frame. Apalagi ketika sunrise muncul dan sunset tenggelam pada sisi gunung dan laut. Itulah frame Eropa!
Tetapi saya terus menghibur diri dan mengatakan kepada Amuntoda, jika musim penghujan tiba tentu saja tidak sampai Lembata. Sebab, perjalanan saya dimulai dari Kupang dengan menggunakan Ferry menuju pelabuhan Lewoleba. Berlayar ketika musim penghujan tentu mengundang risiko besar. Dan saya tak akan melakukannya. Seperti kita ketahui, Indonesia umumnya dan Lembata khususnya memiliki dua iklim tropis yakni kemarau dan hujan. Di Lembata, musim kemarau terjadi pada bulan April-Oktober sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Nopember-Maret. Jadi musim kemarau lebih panjang dibandingkan musim penghujan. Adapun rata-rata suhu udara maksimum berkisar antara 30 C-33 C, sedangkan suhu udara minimum berkisar antara 20 C-24 C.
30 menit pun berlalu dalam mobil DKP. Saya tiba di penginapan. Amuntoda menyarankan untuk beristirahat terlebih dahulu sebelum memulai perjalanan pada esok hari menuju Lamalera, sebuah desa yang melestarikan perburuan paus. Sembari istirahat saya menyempatkan diri browsing tentang Lembata. Meski sinyal internet lewat modem lelet, toh saya bisa mendapatkan gambaran akan Lembata. Lembata yang beribukota Lewoleba memiliki penduduk asli yang beretnis Lamaholot dan etnis Kedang. Etnis Kedang mendiami wilayah Kecamatan Omesuri dan Kecamatan Buyasuri sedangkan etnis Lamaholot mendiami wilayah Kecamatan Ile Ape, Kecamatan Ile Ape Timur, Kecamatan Nagawutun, Kecamatan Wulandoni, Kecamatan Atadei, Kecamatan Nubatukan dan Kecamatan Lebatukan. Setiap etnis memiliki dialek dan bahasa daerahnya masing-masing, serta tradisi adat istiadat yang berbeda pula.
Disamping itu, para pendatang juga banyak yang mengadu nasib di Lembata. Ada yang dari Bugis, Manado, Madura serta Jawa. Saya banyak menjumpai orang Jawa yang berdagang bakso, mie ataupun pecel lele di sudut-sudut Lewoleba. Mereka akan senang jika diajak ngobrol dengan bahasa ibunya, bahasa Jawa. Banyaknya pendatang di Lembata dikarenakan daerah ini termasuk strategis sebagai pintu masuk dari Kupang ke Larantuka atau sebaliknya. Karena itu pelabuhan Lewoleba dipenuhi banyak peti kemas dari kapal-kapal niaga. Pun halnya dengan arus masuk dan keluar orang di pelabuhan ini. Apalagi jalur udara di Lewoleba pun juga sudah dibuka dari dan menuju Kupang. Singkat kata, menuju Lewoleba kini bisa dilakukan dengan mudah. Baik dari laut dan udara.
Dari penginapan, saya sempat bertanya kepada staff penginapan akan sebuah gunung yang tampak. Dikatakannya itu adalah gunung Ile Ape dengan ketinggian mencapai 1.319 meter diatas permukaan laut. Dari staff itu pula saya mengetahui bahwasanya mayoritas penduduk Lembata menganut agama Katolik, sebagian lainnya menganut agama Islam, Protestan, Hindu dan Budha. Meskipun demikian masyarakat Lembata masih menaruh kepercayaan terhadap leluhur dan lera wulan tanah ekan berupa ritual adat dan pemberian sesajian sebelum melakukan kegiatan tertentu.
Hal ini sempat saya rasakan ketika saya disambut oleh Amuntoda di pelabuhan Lewoleba. Saya sempat disuguhkan legen. Warga setempat menyebutnya sebagi tuak manis. Tuak yang belum dikasih campuran ragi sehingga alkoholnya belum ada. Meski begitu, jika diminum terlalu banyak akan memabukkan juga. Saya disuguhkan batok kelapa yang dituangkan legen. Amuntoda menyuruh saya menuangkan sebagian legen itu ke bumi (baca: tanah) sebelum meminumnya. Hal itu dilakukan sebagai penghormatan kepada leluhur.
Di Lembata, tak ada pesta di kampung tanpa legen. Dalam satu literatur disebutkan, sebelum tahun 2000, khususnya tahun 80an, legen menjadi minuman sehari-hari pengganti air putih di berbagai kampung di Ile Ape, Lembata. Khususnya kampung-kampung lama yang jauh dari pantai. Ini adalah sebuah rutinitas bagi laki-laki disana. Selain itu, faktor kesulitan air juga mendorong mereka untuk mengkonsumsi legen. Di pegunungan, air tawar sulit didapat karena umumnya sudah tercemar oleh belerang. Amuntoda mengkisahkan bagaimana banyaknya penduduk Ile Ape yang bergigi keropos karena nekat mengkonsumsi air yang diambil dari dalam tanah. Sebaliknya mereka yang dekat pantai pun harus mencicipi asinnya air tanah mereka. Karena itulah DKP setempat gencar mendirikan tempat penyulingan air di daerah-daerah dengan air tercemar.
Kisah Lembata hasil browsing, pengamatan dan obrolan dengan banyak orang tersebut akhirnya mengiringi istirahat saya. Lembata yang panas di siang hari ternyata cukup dingin kala malam tiba. Saya tidur cukup nyenyak, hingga suara handphone, panggilan dari Amuntoda membangunkan saya. Bak dikejar setan, saya buru-buru mandi dan berkemas demi janji menuju Lamalera. Lamalera jauh dijangkau dari Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Menuju kesana harus memintas banyak bukit dengan jalan yang rusak. Dengan kendaraan yang sama ketika Amuntoda menjemput, kami membutuhkan waktu selama 4 jam untuk tiba di Lamalera, sebuah desa yang tergantung pada paus, mamalia terbesar di lautan.
Masuk ke Lamalera anda akan disambut gapura desa yang terdapat gambar pausnya. Warga setempat menyebut paus sebagai kotoklema. Sepanjang Mei hingga Oktober adalah musim dimana paus berjenis sperma bermigrasi dari Samudera Pasifik melewati Laut Banda, Laut Flores masuk Laut Sawu melalui perairan Pulau Alor dan ke Samudera Hindia di Selatan Sumba atau sebaliknya. Jika musim itu tiba banyak warga Lamalera yang bersiaga di atas bukit untuk melihat kedatangan paus. Kalau ada semburan air di tengah lautan – sebagai pertanda kedatangan paus – mereka akan segera meneriakkan Baleo!! Baleo!! Nah, kalau sudah begitu warga desa pun akan berduyun-duyun melayarkan perahunya ke laut Sawu secara berkelompok.
Satu kelompok bisa terdiri dari 5 hingga 10 perahu. Dalam satu perahu ada pembagian tugas dan jabatan. Diantaranya Lamuri yang memegang kendali perahu atau juru mudi, Matros untuk sebutan kru perahu dan Lamafa yang berdiri di ujung perahu dan menombak paus. Paus yang berhasil ditombak akan diseret ke pantai. Dagingnya dibagikan ke seluruh desa, bahkan ada pula yang menyimpannya untuk persediaan selama setahun. Bagi yang berlebih bisa juga membarternya dengan hasil kebun di desa tetangga. Umumnya, warga Lamalera mengeringkan daging paus atau mengasapnya.
Dengan cara itu minyak paus akan didapat. Minyak paus dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan, khususnya untuk menyembuhkan penyakit dalam. Warga Lamalera juga percaya minyak paus ampuh sebagai pembersih lambung dan saluran pencernaan. Tidak hanya minyak yang diambil dari tubuh paus. Gigi dan tulangnya ikutan diambil untuk dibuat sebagai aksesoris dan dijual pada wisatawan.
Wisatawan memang kerap dijumpai ketika musim paus tiba. Mereka tertarik akan adat dan budaya di Lamalera. Bayangkan, sejak era 1600-an sebelum berburu paus para warga harus mengikuti upacara keagamaan terlebih dahulu. Portugis mencatat, Suku Wujon yang tinggal di gunung akan turun ke pantai dan berdoa memanggil paus. Kini, upacara keagamaan dilakukan dengan cara Kristen. Saat musim paus, semua masyarakat Lamalera akan berdoa untuk keselamatan nelayan yang akan pergi ke laut dan berdoa untuk mereka yang meninggal di laut.
Tarian khas berburu paus juga ikut digelar. Dengan menggunakan busana tradisional atau sarung dan topi khas setempat, seorang Lamafa memimpin tarian diikuti Lamuri serta Matros yang menggunakan dayung kayu. Pada akhir tarian, biasanya Lamafa akan menombak replika paus yang terbuat dari styrofoam. Tarian setempat tak hanya soal berburu paus. Ada pula tarian yang menggambarkan bagaimana kaum perempuan Lamalera harus membersihkan daging paus, menjemurnya, membagi kepada keluarga dan menjajakan atau membarternya di pasar tradisional.
Warga Lamalera juga memiliki pantangan untuk membunuh paus berjenis paus biru atau blue whales. Dalam kepercayaan mereka, paus biru disebut pernah menolong leluhur mereka. Yang lebih mencengangkan, paus jenis ini ternyata sangatlah langka dan dilindungi. Pantangan membunuh paus yang hamil, betina dan anak-anak pun masih diterapkan. Mereka hanya membunuh paus jantan terbesar yang merupakan pimpinan kelompok. Hal ini bukanlah mengada-ada. Menurut mereka, jika paus jantan terbesar yang merupakan pimpinan tak dibunuh, paus itulah yang justru bisa membunuh mereka.
Dalam dunia hewan, jantan terbesar dalam kelompok disebut alpha male. Alpha male lah yang melindungi setiap kelompoknya. Bayangkan kalau anggota kelompoknya yang dibunuh? Tentu Alpha Male lah yang akan balik menyerang para pemburunya. Sebaliknya jika Alpha male yang diburu, tentu anggota kelompoknya akan kocar-kacir. Namun, bukan berarti perburuan jantan terbesar akan berlangsung mulus. Seorang pemburu pernah menceritakan bagaimana lamanya menewaskan jantan terbesar. Saking lamanya perahunya pernah dibuat hancur dan sorang krunya juga dihantarkan ke alam baka. Ia juga pernah berkisah bagaimana seorang temannya bisa terbawa sampai perairan Australia karena begitu kuatnya jantan terbesar. Untuk bertahan hidup, teman itu hanya menggantungkan diri pada pecahan kapal dan mengkonsumsi pakaiannya sendiri.
Walau risiko yang mengintai begitu besar, tetap saja para pemburu paus tak pernah kapok. Apalagi pemerintah kabupaten begitu mendukung atraksi budaya ini. Pemerintah Kabupaten seperti dikemukakan Bupati Eliezer Yance Sunur menyebut bahwa pihaknya tak melarang perburuan paus yang dilakukan warga Lamalera. Ia menilai apa yang dilakukan warganya tidaklah seberapa dibanding yang dilakukan oleh nelayan Jepang. Nelayan Jepang, selama ini berburu paus secara massal menggunakan peralatan canggih hingga ke belahan dunia manapun. Paus oleh Pemkab Lembata, bahkan sudah menjadi ikon Lembata. Di lambang Pemkab, anda akan menjumpai bentuk paus. Sarung-sarung tenun setempat motifnya paus pula. Larangan perburuan paus di Lamalera juga tidak dikeluarkan oleh badan konservasi internasional World Wild Fund (WWF), akan tetapi WWF memberikan konservasi dan pemberdayaan tentang pengelolaan habitat kehidupan laut pada masyarakat Lamalera.
Meski begitu, fakta berbicara, dari tahun ke tahun jumlah paus yang migrasi melewati laut Sawu selalu berkurang. Menurut data yang ada, mulai tahun 1957 sampai dengan 2007, hasil buruan ikan paus mencapai 475 ekor. Hasil paus terbanyak dalam tempo 22 tahun terjadi pada 1969 yaitu 56 ekor dan tahun 2007 sebanyak 48 ekor. Perolehan paling sedikit pada 1983, yakni dua ekor, dan selama dua tahun pada 2004-2005 tak terekam jumlah perolehannya. Sementara di tahun 2012 lalu, warga Lamalera baru memperoleh satu paus. Untuk mensiasati susahnya memperoleh paus, warga Lamalera biasanya berburu penyu, lumba-lumba dan ikan terbang. Tentu saja harga dan nilai tukar spesies tersebut tak sebagus kotoklema.
Di Lamalera saya sempat mencicipi rasa daging paus yang dioseng dengan kecap. Bau daging paus terasa apek bagi saya yang pemula. Minyaknya pun terus menyangkut di tenggorokan. Adapun tekstur dagingnya ketika digigit layaknya kita menggigit kikil sapi. Namun bagi warga Lamalera, tak ada hidangan yang berkelas dan senikmat paus. Paus, sekali lagi telah membantu mereka dalam hidup di tengah kerasnya alam Lamalera. Bahkan bisa menyekolahkan anak mereka hingga bangku kuliah. Banyak orang pintar berasal dari sini, diantaranya Gorys Keraf yang notabene pakar bahasa Indonesia serta Sony Keraf mantan Menteri Lingkungan Hidup pada era Megawati Soekarnoputri. (Ponco Suharyanto)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
gara gara si bos pengen liburan nanti bulan Februari 2018 ke Labuan Bajo Komodo Nusa Tenggara Timur yang mana sudah masuk dalam UNESCO tentang Budaya di Dunia. Mampir ke mari dah tentang orang Lamalera yang terkenal menjadi pemburu ikan paus sampe2 dunia luar negeri tau.
BalasHapusNamun kini menjadi persoalan tersendiri dilihat dari kacamata orang2 lingkungan itu adalah tradisi orang bar-bar bukan budaya?
Mantap gan artikelnya, salam kenal yah sobat netizen semuanya dari aku penjual obat kuat