Demokrasi ala Kesultanan Buton, Demokrasi Tertua di Indonesia


Datanglah ke Kota Bau bau. Di kota kecil inilah komplek kerajaan/Kesultanan Buton berada. Terletak di puncak bukit dan menghadap ke Selat Buton. Penduduk setempat menyebutnya keraton. Aura kemegahannya masih terasa nyata.

Namun tidak disangka, dibalik kokohnya benteng kesultanan tercium aroma budaya demokrasi yang luhur. Iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan Buton, jauh sebelum Indonesia lahir, bahkan diyakini lebih tua dari sistem demokrasi Amerika.

Struktur sosial masyarakat Buton terbagi dalam tiga golongan yang masing-masing berbeda tugasnya, namun Sultan Buton tidak selalu diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan tergantung pada rapat anggota dewan legislatif yang berada di tangan golongan Walaka. Beberapa sultan konon dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan pelanggaran.

Budaya dan system demokrasi yang berkembang di kerajaan/kesultanan Buton ditopang dengan dua struktur golongan, yaitu, golongan bangsawan  atau kaomu (pemegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan) dan golongan walaka atau rakyat biasa.

Susunan kekerabatan Kaomu terbagi atas 3 golongan yang disebut kamboru-mboru talupalena (tanailandu, tapi tapi dan kumbewaha). Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada ditangan golongan walaka. Namun yang menjadi sultan harus berasal dari golongan kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan diantara yang terbaik.
 
Kelompok Walaka merupakan keturunan dari Sipanjonga  memiliki tugas untuk menentukan bibit unggul untuk dilatih dan di didik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.

Adapun  Sistem pemerintahan kerajaan atau kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan : (1) Sara pangka sebagai lembaga eksekutif; (2) Sara gau sebagai lembaga legislative; (3) Sara bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli mengklaim kalau system ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencentuskan konsep trias politica.

Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton 12 diantaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan, dan hukumannya termasuk hukuman mati. Dari segi kesetaraan gender, kerajaan/kesultanan Buton pernah memiliki raja atau pemimpi perempuan, yaitu Ratu Wa kaa kaa sebagai raja pertama Buton serta ratu Bulawombana raja Buton kedua.

Proses Pemilihan Sultan

Setelah sultan/raja secara de facto maupu de jure kosong  maka langkah yang diambil adalah kelompok syarat mengadakan rapat. Kelompok syarat terdiri sapati, kenipulu, bonto ogena dan sio limbona. Rapat tersebut membahas mengenai pengambilan alat kemulian sultan di kamali atau istana.

Alat tersebut kemudian  dibawa ke Baruga dari baruga diantar ke rumah Bonto Peropa dan disimpan disana sampai pelantikan sultan yang baru tiba, pertimbangannya adalah bahwa pengambilan alat setelah 120 hari wafatnya sultan. 

Tahap selanjutnya adalah menentukan hari diadakannya pencalonan, setelah adanya kesepakatan tentang hari pencalonan, maka menteri besar yang tertua umurnya mengundang kesembilan menteri sio limbona dan satu menteri besar lainnya untuk hadir dalam penentuan calon sultan.

Dalam penentuan calon sultan ini hanya hadir 11 orang,  pertemuan kali ini dipimpin oleh bonto ogena dan calon yang dikemukakan harus dari kalangan bangsawan keturuanan kamboru-mboru talu palena.

Pada pertemuan itu para bonto  dari sio limbona mengemukakan calon mereka pada bonto ogena, nama calon  yang mereka ajukan  boleh lebih dari 1 orang, tetapi kesemuanya maksimum hanya boleh 6 orang, nama calon calon ini mereka jaga secara ketat tidak boleh diketahui orang lain sebelum hari pelantikan sultan tiba.

Pada saat itu mereka juga mempertimbangkan nama calon sultan yang dikehendaki para pembesar kerajaan, tetapi hal tersebut sifatnya tidak mengikat. Artinya, kedua bonto ogena dan kesembilan bonto sio limbona lah yang berhak secara adat menentukan siapa yang nantinya jadi sultan.

Ketetapan yang diambil oleh bonto ogena dikenal dalam adat dengan istilah “ apasoa”  yang artinya “dipaku” atau “diteguhkan”. Nama para calon yang sudah diteguhkan ini perlu dilakukan penyaringan lagi yang dikenal dalam adat dengan istilah “afalia” yang berarti difirastkan.

Kegiatan afalia ini dimaksudkan untuk mendapatkan firasatnya: apakah calon sultan baik atau tidak? Pelaksanaan kegiatan afalia ditentukan dengan melihat petunjuk hari baik atau buruk yang tercantum dalam buku Jaa afara Shadiqi, buku dinamakan demikian karena diyakini merupakan buku dari Ja’far Shadiq.

Prosesi afalia sepenuhnya dilaksanakan di masjid Agung Keraton, dimana Sembilan menteri sio limbona berkumpul. Salah satu diantara mereka melaksanakan sholat dan satunya lagi membuka Al-Qur’an tanpa ditentukan halaman atau juznya.

Setelah  dibuka lalu dihitung berapa banyak huruf ”kh” pada halaman sebelah kanan dan berapa banyak huruf  “sh” pada halaman sebelah kiri. Huruf “kh” menunjuk makna kata khair yang berarti baik, sedangkan “sh” menunjuk kata shar yang artinya buruk. Apabila dalam perhitungan diperoleh lebih banyak sh dari kh maka calon yang bersangkutan lebih banyak buruknya dari pada baiknya, atau sebaliknya. Makan yang dipilih adalah yang lebih banyak kebaikannya.

Namun apabila calon tidak memiliki kecenderung baik atau buruk, maka dilakukan prosesi afalia ulang dengan cara memilih dua calon yang menonjol, baru setelah firasat ulang dilakukan, satu calon dengn hasil yang terbaik dipilih.

Calon yang terpilih ini secara adat masih dirahasiakan dan tidak ada satupun yang mengetahui selain bonto ogena dan bonto sio limbona. Kerahasiaan nama calon terpilih ini disebut dalam adat dengan istilah “ikokompoakana baaluwu o’Peropa” artinya yang dikandung oleh baluwu dan peropa.

Begitulah denyut demokrasi di kesultanan/kerajaan Buton, menerapkan demokrasi tanpa harus menghilangkan kearifan local. Semoga Indonesia bisa belajar darinya. (deni) 


2 Responses to "Demokrasi ala Kesultanan Buton, Demokrasi Tertua di Indonesia"

Silahkan beri komentar