Tedhak Siten, Tradisi Mengenalkan Jati Diri

Dalam adat tradisi Jawa ada upacara yang disebut Tedhak Siten atau upacara dimana seorang anak untuk pertama kali kakinya menginjak tanah.Tedhak Siten sering juga disebut upacara turun bumi, upacara tersebut dilaksanakan ketika anak berusia 245(dua ratus empat puluh lima) hari atau tujuhlapan (7-8) bulan.

Tradisi tedhak siten merupakan rangkaian upacara kelahiran adat Jawa. Upacara tedhak siten menggambarkan perjalanan hidup seseorang, berawal dari masih di dalam lindungan orang tua sepenuhnya (dikurung di kandang ayam), kemudian ketika dia sudah mulai bisa memobilitas dirinya sendiri (berjalan di atas jadah), dia akan mulai berjalan meniti tangga kehidupan (naik tangga) dan memilih jalan hidupnya sendiri (mengambil barang untuk dipilih).

Umumnya pelaksanaan upacara tedhak siten dilaksanakan dihalaman rumah. Adapun alat-alat yang dibutuhkan seperti; Sesaji selamatan yang terdiri dari: nasi tumpeng dengan sayur mayur, jenang (bubur) merah dan putih, jenang boro-boro, dan jajan pasar lengkap. Juwadah (uli) tujuh macam warna yaitu merah, putih, hitam, kuning, biru, jambon (jingga), ungu. Serta sekar (bunga) setaman yang ditempatkan dalam bokor besar dan tanah.

Alat lainya adalah tangga yang dibuat dari batang tebu merah hati. Sangkar ayam (kurungan ayam) yang dihiasi janur kuning atau kertas hias warna-warni. Padi, kapas, sekar telon (tiga macam bunga misalnya melati, mawar dan kenanga). Beras kuning, berbagai lembaran uang. Bermacam-macam barang berharga (seperti gelang, kalung, peniti dan lain-lain. Serta, barang yang bermanfaat (misalnya buku, alat-alat tulis dan sebagainya) yang dimasukkan ke dalam Sangkar.

Prosesi dan Makna Upacara

Untuk prosesi upacara pertama kali anak dibimbing oleh kedua orang tuanya berjalan (dititah) dengan kaki menginjak-injak juwadah atau jenang yang berjumlah tujuh warna. Jenang atau jadah yang terbuat dari ketan dan terdiri 7 warna melambangkan unsur-unsur kehidupan di dunia ini yang kelak akan dilalui oleh anak.

Merah perlambang berani, Putih itu Suci, Hijau itu Alam semesta, Biru itu Langit, Kuning itu cahaya, Jingga itu Matahari dan Coklat itu melambangkan bumi. Juwadah 7 warna juga melambangkan agar anak kelak bisa menanggulangan berbagai kesulitan. Selesai itu, anak menginjak tanah sebagai perlambang pertama kalinya iya turun ke tanah.

Kemudian anak tersebut dinaikkan ke tangga yang terbuat dari tebu wulung atau tebu itam. Artinya agar ia mendapat kehidupan sukses dan dinamis setahap demi setahap. Maknanya adalah agar sang anak mantap menjalani kehidupannya kelak yang diharapkan kian lama kian tinggi , baik usia, karier, jabatan, rohani dan pendidikannya. Dari tangga teratas kemudian anak dibopong tinggi-tinggi oleh ayahnya dengan harapan ia akan sampai ke puncak yang tertinggi. Tangga “tebu” arti dalam bahasa Jawa anteping kalbu ketetapan hati dalam mengejar cita-cita agar lekas tercapai.

Selanjutnya anak itu dimasukkan ke dalam kurungan ayam bila anak tidak mau masuk maka perlu di temani ibu atau pengasuhnya. Di dalam kurungan telah dimasukkan berisi padi, gelang, cincin, alat-alat tulis, kapas, wayang kulit dan mainan dan menanti sampai bayi tersebut mengambil. Benda yang pertama kali diambil sang bayi akan melambangkan kehidupannya kelak. Seperti kalau si anak mengambil maina pesawat kelat si anak akan menjadi pilot. Kurungan ayam dimaksudkan agar anak dapat masuk ke dalam masyarakat luas dengan baik dan mematuhi segala peraturan dan adat istiadat setempat.

Kenapa ayam yang dipilih? Karena ayam itu mempunyai kemampuan survivalnya tinggi. Bisa cari makan dimana saja bahkan juga mengajarkan untuk mencari makan kepada anak-anaknya, jadi mereka punya sifat mengajarkan kemandirian tidak seperti burung misalnya yang selalu ‘menyuapi’ saja.

Setelah selesai, beras kuning, biji-bijan dan bermacam-macam uang logam ditaburkan atau yang disebut ‘nyebar udhik-udhik’. Para undangan saling berebut uang merupakan tambahan acara yang meyemarakkan suasana. Makna lain dari prosesi ini adalah mencontohkan anak atau cucu agar kelak sang anak menjadi anak yang dermawan.

Kemudian anak dimandikan dengan air bunga setaman dengan maksud membawa nama harum keluarga di kemudian hari dan bertujuan agar ia dapat menjalani kehidupan yang bersih dan lurus. Selain itu air yang dibuat mandi merupakan air yang telah diembunkan kemudian pagi harinya di jemur matahari, atau istilahnya ‘banyu gege.’

Setelah mandi, anak dikenakan pakaian baru yang bagus agar sedap dan menyenangkan orang tua dan para undangan. Setelah berpakaian anak didudukkan pada tikar, karpet atau lampit dan didekatkan pada barang-barang yang tadi diletakkan didalam kurungan.

Agar anak mau mengambil barang-barang tadi maka bapak ibu anak itu memberi aba-aba dengan suara kur-kur seperti memanggil ayam disertai dengan ditaburi beras kuning dan uang logam serta barang berharga.

1 Response to "Tedhak Siten, Tradisi Mengenalkan Jati Diri"

Silahkan beri komentar