Ngaben: Gotong Royong dalam Sakralitas Religi

Upacara Ngaben merupakan peristiwa sakral yang mengandung nilai-nilai religius sangat dalam bagi kehidupan umat Hindu, termasuk nilai kebersamaan dan gotong royong. Ngaben tergolong upacar Pitra Yadnya atau upacara yang ditunjukan kepada leluhur.  
Secara etimologis Ngaben berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben.

Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada dua, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka.  Jadi, Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah.

Menurut keyakinan Umat Hindu di Bali, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah upacara ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Upacara Ngaben itu sendiri diadopsi dari satra dalam keyakinan umat hindu di India, bahwa untuk mempercepat proses pengembalian badan kasar ke unsur Panca Maha Bhuta, maka dilakukanlah Upacara Ngaben (Kremasi). Upacara Kremasi ini sudah berlangsung sejak jaman bharata yudha di India Sekitar Tahun 400 SM.

Sejak Pengaruh Agama Hindu masuk ke Bali tahun 768 atau sekitar Abad ke 8 maka dengan adanya beragam budaya di bali, maka sejak saat itulah Upacara Ngaben di Bali mulai dilakukan. Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma.

Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.

Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.

Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.

Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara ngaben dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali.

Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah tidak diketemukan, jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan. Untuk prosesi ngaben yangg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar.

Prosesi Ngaben

Banyak tahap yg dilakukan dalam prosesi ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsure-unsur penyucian roh.

Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sebagai simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.

Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengan menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin.

Umumnya proses pembakaran dari jenazah yangg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk  bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada keluarganya meninggal.

Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia ak
an menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

0 Response to "Ngaben: Gotong Royong dalam Sakralitas Religi"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar