Kedua lelaki kembar tersebur asik berenang di laut ketika matahari sedang bersinar dengan teriknya, namun tiba-tiba kedua orang tersebut berubah menjadi meriam. Usut punya usut kedua laki-laki kembar tersebut adalah prajurit Mataram yang sedang membantu mempertahankan Kesultanan Banten dari kooptasi bangsa Portugis. Mereka berubah menjadi meriam karena melanggar pantangan.
Cerita tentang berubahnya dua prajurit kembar asal Mataram menjadi meriam terus bergulir hingga saat ini. Anda boleh tak percaya pada cerita dari mulut ke mulut itu. Tetapi jangan coba-coba menyangkal keberadaan kedua meriam tersebut. Sebabnya, kedua meriam tersebut hingga saat ini masih ada. Di percaya meriam itu adalah Si Jagur sekarang berada di Museum Fatahillah, Jakarta dan Ki Amuk yang berada di Museum Situs Banten Lama.
Senjata arteleri berat, seperti meriam memang telah digunakan dalam peperangan antara kesultanan Islam (Mataram, Cirebon dan Baten) melawan penjajah Portugis dalam membebaskan Batavia.
Dalam kitab Babad Banten misalnya, mengutip keterangan Hoesein Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, dituliskan sejumlah episode yang menyebutkan nama-nama meriam atau senapan yang digunakan pasukan Kesultanan Banten ketika terlibat peperangan dengan musuh-musuhnya. Di antaranya adalah meriam Jaka Tua, Jaka Pekik, Kalantaka, Nilantaka, Kalijaya, Muntab, Urang Ayu dan Pranggi Sela. Diantara meriam-meriam tersebut yang menarik untuk diceritakan adalah mitos meriam Ki Amuk dan Si Jagur yang katanya kembar.
Anatomi Ki Amuk
Khusus Ki Amuk yang beratnya mencapai tujuh ton, menurut Karel Christiaan Crucq dalam De Geschiedenis van het Heilig Kanon te Banten, informasi pertama tentang meriam ini terdapat dalam sebuah peta perencanaan kota Banten yang dibuat menjelang pertengahan abad ke-17. Tulisan yang terbaca “meriam besar ‘t Desperant” pada peta yang disimpan di perpustakaan Castello Firenze, Italia ini, menurut Crucq mengacu pada meriam Ki Amuk.
Meriam sepanjang lebih dari tiga meter ini, memiliki hiasan motif “Mentari Majapahit” pada bagian mulutnya. Selain itu, juga didapati inskripsi berhuruf Arab pada tiga medalion bundar. Inskripsi pertama, medalion pertama dan kedua, terbaca, “Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani.” Sedangkan inskripsi kedua, medalion ketiga, berbunyi, “La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta.”
Inskripsi pertama yang searti dengan, ”Buah dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman,” menurut Crucq, dalam versi Jawab dibaca, “Wekas ing sukha.” Kalimat ini, katanya, merupakan sangkakala pembuatan meriam Ki Amuk yaitu tahun 1450 Saka atau sekitar 1529 Masehi. Ditambah dengan motif “Mentari Majapahit” yang menjadi ciri khas nisan-nisan di Troloyo abad ke-14/15, Crucq menyimpulkan, meriam ini memang dibuat di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-16.
Angka tahun itu sama dengan pernikahan Sultan Hasanuddin Banten dengan putri Sultan Trenggana Demak. Francois Valentijn menceritakan, saat itu Sultan Trenggana menghadiahi Sultan Hasanuddin sebuah meriam bernama Ki Jimat. Crucq menjelaskan, meriam itu lalu berubah nama menjadi Ki Amuk, yang memuat keterangan, “Tiada pemuda kecuali Ali, tiada pedang selain Zulfiqar, hendaklah engkau bertakwa sepanjang masa kecuali mati,” pada medalion ketiganya.
Analisis Crucq tentang meriam Ki Amuk secara tidak langsung telah memberikan sedikit titik terang bahwa Ki Amuk dan Si Jagur bukanlah saudara kembar, seperti mitos yang berkembang. Ki Amuk dan Si Jagur bukan pula berasal dari tempat yang sama atau dibuat oleh orang yang sama. Namun kemungkinan antara Ki Amuk dan Si Jagur pernah ada dan digunakan dalam satu masa yang bersamaan.
Hipotesis bahwa Ki Amuk dan Si Jagur pernah di ada dan digunakan dalam satu masa yang bersamaan tentunya juga terkait dengan mitos yang ada. Mitos yang beredar luas di tengah masyarakat menyebutkan bahwa apabila Ki Amuk dan Si Jagur bertemu maka akan terjadi ‘goro-goro’. Hal tersebut dapat diartikan bahwa akan terjadi perabg dahsyat dengan menggunakan meriam tersebut.
Mitos lainnya menyebutkan bahwa apabila Ki Amuk dan Si Jagur disandingkan maka yang terjadi adalah timbulnya kejayaan dan kemakmuran ditempat dimana Ki Amuk dan Si Jagur disandingkan. Ini dapat diartikan bahwa apabila salah satu pihak yang sedang berperang memiliki kedua meriam tersebut dapat meraih kemenangan yang gemilang dalam peperang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Benarkah Ki Amuk adalah Kembaran Si Jagur?"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar