Tradisi Grebeg Mulud yang Ratusan Tahun Tetap Terjaga

Ngerayah Berkah Gunungan Sekaten Masyarakat Jogja punya tradisi Sekaten yang dilaksanakan setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi itu tak bisa dilepaskan dari Kerajaan Demak.

Sejarah menyebutkan, Raden Patah pada 1478 M diangkat sebagai raja Demak bergelar Sultan Syah Alam Akbar Penambahan Jimbun Anom. Di bawah kepemimpinan Raden Patah, Kerajaan Demak semakin eksis dan berkembang. Termasuk dalam melakukan syiar Islam ke berbagai penjuru. Salah satu syiar yang dilakukan pada saat itu adalah menggelar perayaan setiap Rabiul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Perayaan itu selalu dilaksanakan di halaman masjid sehingga menjadi daya tarik masyarakat sekitar. Sunan Kalijaga lantas memanfaatkannya sebagai sarana dakwah. Melalui perayaan tersebut, masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat (dalam bahasa Arab disebut syahadatain).

Dalam lidah orang Jawa, kata-kata syahadatain berubah menjadi Sekaten. Sejak itulah, perayaan yang digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW biasa disebut Sekaten. Dalam perjalanannya, Sekaten menjadi tradisi yang terus dilestarikan setelah Kerajaan Islam pindah ke Pajang. Lalu, dari Pajang ke Mataram, hingga pindah ke Kartosuro dan Jogjakarta. Sekaten menjadi tradisi yang terbukti tak pudar meski berganti zaman.

Upacara Sekaten dimulai tanggal 5 (lima) bulan Jawa ketiga atau Mulud. Rangkaian upacara diawali miyos gongso yang telah dilaksanakan tanggal 13 Maret lalu. Miyos gongso merupakan prosesi keluarnya dua gamelan pusaka milik Keraton Jogja, yakni Kiai Nagawilaga dan Kiai Gunturmadu. Dua gamelan yang telah berusia ratusan tahun itu diusung dari Bangsal Ponconiti menuju Masjid Besar Kauman. Jarak Keraton Jogja dengan Masjid Besar Kauman sekitar 400 meter.

Setiba di halaman Masjid Kauman, gamelan Kiai Nagawilaga ditempatkan di pagongan utara, sedangkan Kiai Gunturmadu di pagongan selatan. Dua gamelan itu dibunyikan secara bergantian. Gending-gending yang dilantunkan adalah Yaume, Salatun, Ngajatun, Supiyatun, Dendang Subinah, Rambu-Rambu, Rangkung, Lung Gadhungpel, Atur-Atur, Andong-Andong, Rendeng-Rendeng, Gliyung, Burung Putih, Orang Aring, Bayemtur, dan Srundeng Gosong.

Masyarakat Jogja sampai saat ini masih ada yang meyakini bahwa mendengarkan gamelan itu akan mendapatkan berkah. Saat gamelan berada di pagongan utara dan selatan, di halaman Masjid Kauman dipadati masyarakat yang mengais rezeki. Mereka menjual apa saja. Mulai nasi kuning, soto, berbagai macam minuman, wedang ronde, telur merah, hingga perlengkapan nginang (daun sirih, gambir, dan injet).

Itulah sebabnya, halaman masjid menjadi tempat yang paling banyak didatangi masyarakat. Terutama dari daerah pedesaan di seantero Jogja dan sekitarnya.

Menjelang berakhirnya tanggal 11 Mulud (tadi malam, Red), dilaksanakan kondur gongso. Kondur gongso merupakan upacara kembalinya gamelan Kiai Nagawilaga dan Kiai Gunturmadu ke keraton.

Seperti ketika miyos gongso, ribuan orang saat itu rela berdesak-desakan menyaksikan arak-arakan diusungnya dua gamelan pusaka Keraton Jogja itu. Seperti yang terjadi tadi malam, jalan-jalan yang menjadi rute arak-arakan dipadati masyarakat.

Setelah upacara selesai sekitar pukul 23.30 (tadi malam), masyarakat tidak meninggalkan lokasi. Mereka yang berasal dari luar Jogja memilih tidur di jalan-jalan yang berdekatan dengan Masjid Kauman dan Keraton Jogja.

Untuk apa? Mereka ingin menyaksikan garebeg yang dilaksanakan pagi ini sekitar pukul 08.00. Garebeg merupakan puncak peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilangsungkan tanggal 12 bulan Jawa Mulud.

Upacara diawali parade prajurit keraton. Barisan paling depan adalah prajurit Wirobrojo. Prajurit ini populer dengan nama prajurit Lombok Abang. Di belakangnya prajurit Dhaeng, Jogokariyo, Patangpuluh, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, dan Mantrijero. Parade prajurit berangkat dari Kemandungan Lor Kraton.

Prajurit yang berjumlah ratusan orang dengan seragam berbeda itu lantas melewati Siti Hinggil dan Pagelaran Keraton. Disusul arak-arakan gunungan yang digotong para abdi dalem. Enam gunungan pada Garebeg Mulud yang keluar dari keraton dikawal Prajurit Bugis dan Prajurit Surokarso. Arak-arakan gunungan itu disambut tembakan salvo saat keluar dari Pagelaran Keraton menuju Alun-Alun Utara.

Gunungan lalu diarak menuju halaman Masjid Kauman. Setelah didoakan oleh penghulu keraton, gunungan berisi uba rampe itu langsung dirayah masyarakat. "Gunungan laki-laki yang satu dibawa ke halaman Masjid Kauman, sedangkan yang satunya dibawa ke Puro Pakualaman," terang Bekel Wirokaryo.

Mereka yang mendapatkan uba rampe gunungan tampak senang. Mereka meyakini, uba rampe seperti hasil bumi yang berada di tangannya memberi banyak manfaat. Antara lain, diyakini dapat menyuburkan tanaman dan penolak bala.

0 Response to "Tradisi Grebeg Mulud yang Ratusan Tahun Tetap Terjaga"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar