Seperti halnya bangunan Arsip Nasional bangunan-bangunan lain di kawasan ini juga mempunyai area yang luas, dengan halaman depan yang luas, bangunan yang ada di kawasan tersebut juga besar dan luas dilengkapi dengan courtyard atau kebun di halaman belakang. Luas tanah Arsip Nasional sekarang ini mempunyai lebar 57 M dan panjang 164 M, tetapi dulu tanah yang dimilikinya lebih luas batasnya sampai ke sungai Krukut.
Bangunan Arsip Nasional berbentuk U dengan bangunan tambahan di bagian belakangnya. Bangunan utama berlantai 2, dibangun dengan bata merah dengan atap yang tinggi. Denah bangunannya mencerminkan denah rumah yang besar dan klasik dengan aksis utama barat-timur dan aksis kedua utara-selatan. Lantai dasarnya luas. Pintu utamanya tinggi dihiasi lubang ventilasi yang indah di atasnya. Di lantai inilah Gubernur Jendral biasa menerima tamu-tamunya. Di lantai ini terdapat satu tangga kecil yang menuju ke lantai pertama, yaitu tempat yang lebih privat.
Bangunan di samping bangunan utama digunakan sebagai kantor administrasi yang mengelola bisnis pribadi gubernur jendral. Sementara ada bangunan tambahan yang lebih tinggi yang dulu digunakan sebagai rumah budak dan sebagai tempat penyimpanan barang.
Dalam catatan sejarah bangunan Arsip Nasional terlah berpindah tangan berkali-kali, dulu bangunan ini pernah terbengkalai kemudian diperbaiki, oleh pemerintah Belanda digunakan sebagai kantor departemen pertambangan.
Pada tahun 1925 bangunan tersebut kembali direstorasi dan digunakan sebagai kantor Landsarchief Building. Ketika Indonesia merdeka bangunan ini tetap digunakan sebagai Kantor Arsip Nasional. Bangunan Arsip Nasional yang berbentuk U dengan ketinggian dua lantai dihubungkan dengan bangunan tambahan di belakangnya, dan balkon dengan ketinggian dua lantai ditutup dengan dinding dan jendela. Sejak saat itu bangunan tersebut dinamakan Gedung Arsip Nasional Republik
Kawasan Peristirahatan
Kembali ke Gedung Arsip Nasional (kediaman Reinier de Klerk), pada abad ke-18 di sekitarnya banyak terdapat rumah peristirahatan (landhuis) dengan pekarangan luas, tempat para kelompok elite bersama keluarga menikmati weekend di hari-hari libur. Tiga abad lalu, kawasan yang kini sangat ramai itu masih merupakan permukiman yang tenang dengan hawanya yang sejuk. Banyaknya rumah peristihatan indah ini menyebabkan Batavia mendapat julukan Queen of the East (Ratu dari Timur) atau Koningin van het Oosten dalam Belanda.
Di antara gedung yang dulu banyak terdapat di Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk, tinggal gedung Arsip Nasional yang masih tersisa yang dibangun di kawasan Molenvliet. Sebagian tergusur menjadi mal, pertokoan, dan perkantoran. Sebagian lagi dibongkar ketika Gubernur Ali Sadikin melebarkan kedua jalan tersebut. Baru pada abad ke-19, kaum elite membangun rumah-rumah mewah di daerah selatan atau Weltevreden (Lapangan Banteng, Medan Merdeka, Gunung Sahari, dan Senen).
Antara 1777 dan 1780, rumah Reinier de Klerk digunakan sebagai kediaman resmi pejabat tinggi kolonial. Setelah de Klerk meninggal (1780), rumah ini dibeli Johannes Sieberg. Ia kemudian menjadi gubernur jenderal (1801-1805) dan tinggal di gedung ini selama masa pemerintahan Prancis dan Inggris.
Kemudian gedung ini kembali berpindah tangan kepada Jahoede Leip Jewgiel Igel, seorang Yahudi yang berasal dari Polandia. Yahudi ini juga membeli rumah mewah dan besar di Pondok Gede, Jakarta Timur. Rumah ini dibongkar pada 1992 dan di atas lahannya kemudian didirikan mal/pertokoan. Seperti juga de Klerk, Yahudi ini mempunyai empat anak dari hasil 'kumpul kebo' dengan budaknya. Waktu itu, banyak petinggi VOC yang memiliki gundik atau selir para budak tanpa dikawini. Sejauh ini hanya JP Coen yang tampaknya bersih dari praktik-praktik demikian.
Rumah Para Budak
Di rumah-rumah besar atau landhuis seperti di Gedung Arsip Nasional, kala itu banyak tinggal para pekerja berstatus budak belian. Kita perlu memberikan perhatian terhadap nasib para budak ini, karena selama hampir dua abad mereka merupakan penduduk Batavia paling besar, tapi juga paling menderita.
Mereka tidak memiliki hak sama sekali dan diperlakukan seperti binatang, kerja tanpa dibayar. Banyak di antaranya yang dicambuk kemudian dipenjarakan hanya karena soal-soal sepele akibat pengaduan majikannya. Boleh dikata hampir tidak ada hukum yang melindungi mereka. Yang menyedihkan, para budak yang sudah tua dan sakit-sakitan dibuang begitu saja agar sang majikan bebas memberi makan dan tidak menanggung risiko biaya bila budaknya mati.
Waktu itu, VOC banyak mendatangkan budak, baik dari berbagai tempat di Nusantara, maupun mengimpornya dari India dan Srilangka, karena kekurangan tenaga kerja. Pada masa Gubernur Jenderal Van den Parra (1761-1775) tiap tahun tidak kurang 4.000 orang budak yang diimpor ke Batavia. Pada 1788 di Jakarta terdapat 30.520 budak belian, terbanyak dari Bali.
Jakarta dari abad ke-17 hingga abad ke-19 (perbudakan baru dihapuskan pada 1860) menjadi pusat perdagangan budak. Di sini para budak diperjualbelikan dalam suatu lelang, termasuk yang pernah terjadi di Gedung Arsip Nasional. Tidak sedikit di antara para budak itu yang oleh majikannya dijadikan pelacur, dan si majikan menikmati hidup mewah dari hasil 'uang lendir'.
Karena di antara budak itu banyak yang dikawini oleh Belanda dan Cina yang datang ke Indonesia tanpa istri, harga budak wanita dua sampai tiga kali lipat harga budak pria. Waktu itu, memelihara budak merupakan simbol status sosial seseorang. Semakin banyak memiliki budak semakin tinggi statusnya.
Para budak termasuk beruntung bila ia dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, atau menjadi pengiring majikan --memayungi atau membawa tempat sirih dan tempat perhiasan-- yang mempertontonkan kekayaannya. Di antara para budak belian ini ada yang khusus dipekerjakan sebagai grup orkes. Mereka menghibur si majikan saat santap malam bersama keluarga, atau menjamu tamunya. (deni:dari berbagai sumber)
Keren infonya
BalasHapus