Koteka Antara Tradisi dan Keterbelakangan

KOTEKA adalah penutup bagian khusus alat kelamin pria yang dipakai beberapa suku bangsa di Papua. Bagi pria berwibawa dan terkenal dalam masyarakat, koteka yang digunakan harus berukuran besar dan panjang. Batang kotekanya pun diukir berwarna-warni. Seorang pria berwibawa dan gagah biasanya mengenakan koteka sambil memegang panah dan busur dengan tatapan wajah yang tajam ke alam bebas.

Koteka terbuat dari buah labu. Labu tua dipetik, dikeluarkan isi dan bijinya kemudian dijemur. Setelah kering, labu tersebut disumbat pada batang penis dengan posisi berdiri tegak menjulur arah pusat.

Kata koteka berasal dari salah satu suku di Paniai, artinya pakaian. Di Wamena koteka disebut holim. Ada berbagai jenis ukuran koteka, tergantung besar kecilnya kondisi fisik pemakai. Tetapi, besarnya koteka juga sering hanya aksesoris bagi si pemakai.

Tubuh yang kekar bagi seorang pria berkoteka adalah idaman seorang wanita suku Pegunungan Tengah seperti suku Dani. Agar penampilan seorang pria lebih perkasa dan berwibawa, seluruh bagian kulit luar termasuk rambut dilumuri minyak babi agar kelihatan hitam mengkilat dan licin bila terpanggang matahari. Lemak babi itu dioleskan di wajah, pinggang, kaki, dan tangan. Biasanya dipakai pada saat pergelaran pesta adat seperti bakar batu.

Tidak ada literatur yang menyebutkan, sejak kapan suku- suku asli Papua mengenakan koteka. Sejak petualangan bangsa Eropa datang ke daerah itu, kaum pria dari suku–suku di Pegunungan Tengah (Jayawijaya, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, Tolikara, Yahokimo, dan Pegunungan Bintang) sudah mengenakan koteka.

Keterampilan membuat koteka diperoleh secara turun temurun bagi kaum pria. Seorang laki-laki ketika menginjak usia 5-13 tahun harus sudah mengenakan koteka sebagai busana pria. Pria yang menutup bagian penis dengan kulit labu ini sering disebut "manusia koteka", atau sering pula disebut masyarakat koteka.

Bagi orang luar, Koteka dinilai sebagai salah satu bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan. Koteka bukan pakaian. Pria yang mengenakan koteka dilihat sebagai pria telanjang dan "tidak beradab". Tetapi, dari sisi orang Papua, koteka adalah pakaian resmi orang Papua.

Anti Koteka

Secara bertahap, sosialisasi mengenai gerakan pemberantasan koteka pun mulai digalakkan. Gubernur Frans Kaisepo (1964-1973) mulai menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai pakaian yang sehat, sopan, dan bermartabat. Kemudian dilanjutkan dengan kampanye antikoteka oleh Gubernur Soetran. Sosialiasi dilanjutkan Gubernur Acub Zainal, Gubernur Busiri Suryowironoto, dan Gubernur Isac Hindom.

Pada masa pemerintahan Gubernur Barnabas Suebu (1988-1993) dan Yacob Pattipi (1993-1998) mulai dilakukan kampanye antikoteka di Pegunungan Tengah. Puluhan ton pakaian dijatuhkan di beberapa kecamatan dan kampung-kampung di Pegunungan Tengah yang merupakan basis koteka.

Tetapi, kampanye antikoteka dengan cara itu tidak banyak membantu masyarakat koteka. Satu dua potong pakaian yang dibagi kepada masyarakat tidak bertahan lama. Pakaian itu dikenakan terus siang-malam, dan tidak dicuci sampai hancur di badan.

Ketika pakaian hancur, tidak ada pakaian baru sebagai pengganti. Kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau, membuat mereka seakan-akan tetap terisolasi di tengah hutan. Tidak mengenal peradaban modern dan tidak tahu caranya mendapatkan pakaian. Mereka juga tidak tahu bagaimana cara merawat dan menjaga pakaian agar tetap awet di badan.

Kampanye antikoteka tidak disertai pembangunan infrastruktur yang menghubungkan masyarakat kota dengan masyarakat terisolasi sehingga tidak banyak membawa perubahan. Ada kesenjangan cukup besar antara masyarakat kota yang sebagian besar dihuni warga pendatang dengan masyarakat pedalaman yang dikuasai penduduk asli.

Satu-satunya sarana transportasi untuk menjangkau masyarakat pedalaman adalah pesawat. Itu pun kalau ada lapangan terbang di daerah itu. Transportasi udara ini sebagian besar dimiliki gereja, dan belakangan ini mulai diminati pihak swasta seperti Trigana, Mimika Air, Merpati, dan Manunggal Air Service.

Pemerintah memaksa masyarakat meninggalkan koteka dengan cara membagi-bagikan pakaian. Cara ini memang tidak tepat sasaran. Tetapi, paling tidak manusia koteka mulai paham bagaimana harus mengenakan pakaian yang layak dan memenuhi syarat kesehatan. (deni:berbagai sumber)


0 Response to "Koteka Antara Tradisi dan Keterbelakangan"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar