Marawis, Geliatnya Budaya Pinggiran Jakarta

Dua remaja berpakaian koko asyik menari dengan iringan musik yang khas. Tubuhnya tampak dihentak-hentakan mengikuti irama. Posisi kakinya jinjit. Sesekali kedua remaja itu mengangkat tangannya. Saat musik semakin ditabuh cepat dan makin menghentak, tarian pun dilakukan dengan penuh semangat.Tak banyak orang yang mengenal seni musik ini. Anda juga mungkin masih asing dengan seni yang dimainkan para remaja berbaju koko tersebut. Ternyata, seni musik yang mereka mainkan adalah dari tradisi Islam yang bernama marawis.

Seni Islami ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad yang lalu. Mengapa dinamakan marawis? Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis Betawi, musik dan tarian ini disebut marawis karena menggunakan alat musik khas yang disebut Marwas atau marawis. ''Karena kesenian ini memakai alat musik yang namanya marawis, dari dulu orang menyebutnya sebagai marawis,'' ujar pemilik kelompok musik gambus Arrominia ini menjelaskan. Marawis adalah alat musik mirip kendang. Diameternya sekitar 20 Cm dan tinggi 19 Cm.

Selain menggunakan marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar. Hajir ini memiliki diameter sekitar 45 Cm dan tinggi 60-70 Cm.Kesenian ini juga menggunakan dumbuk, sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin dan ditambah lagi dua potong kayu bulat berdiameter 10 Cm.

Menurut Hasan, hampir di setiap daerah yang terletak di Semenanjung Melayu, memiliki kesenian marawis. ''Malah, ada yang menyebut seni ini marwas. Kesenian ini telah ada sejak lama di Indonesia,'' paparnya.Dulu, saat Wali Songo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. ''Marawis tak bisa lepas dari nilai-nilai religius. Awalnya musik ini dimainkan saat merayakan hari-hari besar keislaman, terutama Maulid Nabi,'' katanya.

Namun, kata Hasan, kini marawis tidak hanya dimainkan saat Maulid Nabi saja. Kini, acara hajatan pernikahan, peresmian gedung, hingga di pusat perbelanjaan, marawis sering dimainkan. Marawis yang ada di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan marawis itu terletak pada cara memukul dan tari-tarian. Hasan mencontohkan, seni marawis di Aceh, tari-tariannya melibatkan laki-laki dan wanita. ''Kalau marawis khas Betawi yang menari dan memainkan marawis hanya pria. Tariannya pun khas memakai gerakan-gerakan silat,'' katanya.

Rame Pas Musim Kawin

Memasuki bulan Februari berarti juga memasuki musim kawin. Dan Marawis, kesenian tradisional Betawi akan mengambil bagian dari musim ini. Tak bisa dipungkiri jika di bulan Februari, perhelatan hajat perkawinan akan semakin banyak saja. Karena jangan kaget jika tiba-tiba anda menerima berbagai macam undangan pernikahan ataupun mendengar hajat pernikahan di bulan ini yang lebih banyak dari bulan sebelumnya.

Entah siapa yang memulai ataupun ada motivasi apa yang menganggap Februari adalah bulan baik untuk melangsungkan hajat pernikahan. Yang pasti memasuki bulan Februari akan semakin sering terdengar gendang-gendang Marawis bertabuhan terutama dari sudut-sudut perkampungan Betawi.

Marwas menjadi ciri khas Marawis, yaitu dengan mengandalkan bunyi yang keluar dari gendang tersebut yang ditabuh dengan tangan kosong. Nada ritmis energik akan muncul karena sang pemain menggunakan Arabian Scale, satu oktaf terdiri dari 24 nada sehingga jarak antara satu nada dan lainnya hanya seperempat saja. Scale ini berbeda dengan musik barat yang berjarak setengah nada dan memiliki 12 nada dalam satu oktaf.

Marwas sebenarnya bukan barang baru bagi orang betawi karena alat musik ini pun kerap kali dimainkan dalam orkes tradisonal betawi yang disebut Zafin. Kesenian ini pun sepertinya masih sekelas perkembangannya dengan Gambang Kromong.

Mendengar irama marawis kita akan dibawa pada suasan Arab yang kental. Wajar karena kesenian ini sendiri memang berasal dari negeri tersebut. Bersama dengan Gambus, masuknya marawis ke Indonesia bisa dikatakan melewati dua pintu.

Di Betawi sendiri dikenal adanya kaum Ulaiti. Yaitu keturunan orang-orang arab asal Hadramaut, Yaman Selatan yang datang membanjiri pesisir nusantara sejak dua abad lalu. desakan ekonomi dan keinginan berdakwah membuat mereka mendatangi Indonesia.

Untuk bisa membaur dengan warga betawi, perpaduan bahasa pun terjadi. Dulu kaum ulaiti ini masih mengandalkan bahasa arabnya untuk berkomunikasi. Tapi lambat laun mulai bercampur aduk dengan bahasa betawi. Contoh nyata adanya pengaruh arab dalam bahasa betawi adalah penggunaan istilah. “Ane” dan “Ente”.

Penyebaran musik dan budaya arab ke Jakarta bisa dikatakan memiliki pola yang sama dengan penyebaran budaya India. Yaitu melalui kunjungan orang-orangnya langsung maupun lewat media hibura. Jika beberapa tahun lalu, kita begitu banyak menyaksikan tayangan film India di televisi begitu pula dengan budaya arab.

Dulu, di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat terdapat Alhambra Theatre. Yaitu bioskop yang mengkhususkan diri untuk memutar film-film mesir. Dari tontonan tersebut, rupanya warga lokal semakin akrab dengan sni dan budaya mesir arab. Sehingga lambat laun mempengaruhi perbendaharan musik gambus yang mereka geluti.

Sepuluh tahun terakhir pun sebenarnya warga Jakarta masih kerap mendengar orkes gambus yang diperdengarkan melalui RRI. Sayangnya kini perkembangan zaman menggeser musik tersebut. Lebih kalah dari musik pop, rock, maupun dangdut.

Padahal jika disimak, syair-syair yang dilantunkan dalam Marawis maupun Gambus banyak berisi petuah-petuah maupun ajaran-ajaran agama. Karena itu seni marawis juga kerap diperdengarkan ketika memasuki bulan ramadhan, mauludun, dan syawalan.

0 Response to "Marawis, Geliatnya Budaya Pinggiran Jakarta"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar