Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) merupakan salah satu bangunan cagar budaya (BCB) yang berhasil dipelihara dan berfungsi sebagaimana awalnya serta menjadi wadah apresiasi seni dan kebanggaan masyarakat Jakarta. Gedung megah dengan gaya campuran Ionic dan Corinthian yang sedang trend pada waktu itu sudah berusia ratusan tahun.
Bangunan yang sekarang adalah bangunan asli yang dibangun oleh Firma Lie A Gie dengan biaya pernbangunan seluruhnya sebesar 67.707,066 gulden dengan rincian 31.000 gulden untuk bangunan dan 36.707 gulden untuk dekorasi, mebel serta perlengkapan panggung. Luas bangunan gedung 144 kaki x 60 kaki (43 m x 18 m dan luas tanah 4.562,50 m2). Tiang-tiang besar dan sebuah patung dewa kesenian menghiasi serambi depan gedung tersebut. Di pintu gerbang GKJ diukir tulisan "Ut Desint Vires, Tamen Est Laudanda Voluntas" artinya : Dengan segala kekurangannya pun, niat baik selalu terpuji. Hal ini mengingatkan kita pada kelompok Ut Desnit sebagai cikal bakal berdirinya Stadsschowburg.
Dekorasi, perabotan dan panggung serta sistem penerangan sungguh menakjubkan. Penataannya diatur dengan citra tinggi. Ragam hias tumbuh-tumbuhan dan kepala manusia yang diberi cat pada tembok menghiasi seluruh ruangan. Sekarang setelah pemugaran luas bangunan seluruhnya menjadi 2.211 m2 terdiri dari bangunan induk 1.620 m2 dengan kapasitas 420 kursi penonton dibangun tiang tembok pagar antik kelifing yang tebal, kokoh dan artistic.
Sejarah dan Peranan Gedung
Gedung Kesenian Jakarta yang terletak di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat ini adalah salah satu BCB yang sejak awal hingga kini berfungsi sebagai arena untuk pergelaran kesenian. Pada waktu masa Pemerintahan Inggris menguasai Batavia, Leutenan Gubernur Inggris pada waktu itu Sir Thomas Stanford Raffles mewujudkan ide untuk mendirikan sebuah tempat pertunjukan hiburan di Batavia pada tahun 1811. Keinginan ini didorong oleh pertimbangan bahwa para serdadu Inggris suka bermain sandiwara di arena terbuka, maka didirikanlah sebuah gedung pertunjukan semi permanen dengan bahan bangunan dinding kayu dan dominan bambu, atap rumbia tepatnya pada 27 Oktober 1814 diberi nama Gedung Teater Militer namun lebih dikenal dengan Municipal Theater, yang dapat menampung ± 250 tempat duduk
Kemampuan para serdadu Inggris untuk berakting di panggung sandiwara tidak dapat berlangsung lama karena mereka berhasil dikalahkan oleh tentara Belanda sehingga harus hengkang dari Hindia Belanda. Municipal Theater akhimya berpindah tangan dan dikembangkan oleh Belanda. Banyak keluarga Belanda yang sering berkunjung dan akhirnya membentuk suatu perkumpulan teater dengan nama Ut Desint yang peresmiannya dilaksanakan 21 April 1817 melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Juli 1820 untuk memugar gedung peninggalan Inggris tersebut. Dan sejak 1820 itulah gedung pertunjukan ini berubah namanya menjadi Gedung Kesenian, dan mendapat dukungan langsung dari Pernerintah Hindia Belanda. Pemugaran tahap pertama dengan bahan modern dilaksanakan oleh kontraktor Firma Lie A Gie. Pekerjaan selesai pada tanggal 7 Desember 1821 dan diresmikan dengan nama gedung "Stadsschowburg". Sejak awal berdirinya dipergunakan untuk tempat pagelaran kesenian. Jenis-jenis kesenian yang dipentaskan seperti sandiwara, tonil, musik (teater dan opera).
Stadsschowburg dikenal sebagai tempat pertunjukan orang-orang kulit putih, tercatat opera Italia sering melawat ke Betawi dan mementaskan pertunjukan opera di stadsschowburg. Konon lakon-lakon tersebut dimainkan dalam bahasa Italia yang umumnya tidak dipahami oleh orang-orang Belanda. Akan tetapi kondisi itu tidak menjadi soal, sebab di muka pintu masuk mereka mendapat buku berisi teks dalam bahasa Belanda. Lagi pula lakon-lakon termasyur yang dimainkan itu sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Gedung yang berpenampilan mewah ini pernah digunakan untuk kongres pemuda pertama tahun 1926. Pada awal masa pendudukan Jepang, Stadsschowburg dijadikan salah satu markas tentara Jepang. Namun sejak April 1943 Stadsschowburg dikembalikan pada fungsi semula sebagai gedung pertunjukan dengan nama Siritsu Gekizyoo. Beberapa seniman Indonesia yang tidak loyal kepada Jepang masih diberi kesempatan untuk tampil, seperti Usmar Ismail, Rosihan Anwar, HB Yasin, Soenarjo Soenarto, D. Djaya Kusuma, Kusbini dan Cornelis Simanjuntak.Dan digedung ini pula pada 29 Agustus 1945, Presiden Soekarno meresmikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kemudian beberapa kali bersidang digedung ini pula.
Menjelang kemerdekaan, Gedung Kesenian Jakarta dijadikan tempat pertemuan para seniman muda pejuang yang tergabung dalam kelompok "Seniman Merdeka" dengan menggunakan sebuah truk tua berkeliling mempertunjukkan sandiwara menghibur para pejuang di garis depan untuk memberi semangat perjuangan.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan gedung ini kembali di pergunakan untuk tempat pagelaran kesenian. Sekitar tahun 1951 gedung ini dipergunakan tempat kuliah mahasiswa UI bagi Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum, pada waktu siang hari dan malam harinya tetap dipergunakan sebagai tempat pagelaran kesenian.
Dari tahun 1957-1961 mahasiswa-mahasiswa ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) pemah memanfaatkan gedung ini sekaligus sebagai arena praktek acting. Tahun 1968 fungsi gedung berubah menjadi Bioskop Dana. Setahun kemudian berubah nama menjadi Bioskop City Theater hingga tahun 1989.
GKJ kembali mendapat perhatian khusus, terutama dalam rangka mewujudkan Jakarta sebagai kotajasa yang didalamnya mencakup aspek kebudayaan dan permuseuman. Sudah sepantasnya GKJ sebagai salah satu asset daerah yang tak ternilai harganya itu dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Sumber dana yang dialokasikan pada GKJ janganlah dianggap sebagai cost (biaya) tetapi harus dipandang sebagai investasi.
Kini tempat duduk, ornamen, suhu dan perlengkapan lainnya lebih dibenahi hingga GKJ sekarang semakin berpenampilan lebih segar dan anggun dengan penyusunan acara yang cermat, baik untuk pertunjukan tradisional maupun modem. Tercatat ketoprak humor yang disiarkan di televisi swasta sering mentas di GKJ.
Semaraknya seni dan budaya sangat berpengaruh pula pada perawatan gedung yang dapat dikelola dengan baik yang pada akhimya akan memberikan kontribusi positip bagi kota Jakarta yang diposisikan sejajaur dengan kota-kota lainnya di dunia.
GKJ barangkali bisa menjadi acuan, bagaimana sebuah BCB yang sudah berumur ratusan tahun mampu dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan bahkan menjadi kebangaan bagi warga kota Jakarta. termasuk bagi para wisatawannya. Menjadi suatu tantangan bagi manajemen ke depan, sebagaimana wisatawan Bali belum menikmati Bali seluruhnya sebelum menonton atraksi tari barong di Gedung Kesenian Nitya Mandala di Denpasar,' Bali. Begitulah hendaknya dengan Jakarta terhadap GKJ. (deni:berbagai sumber)
0 Response to "Stadsschouwburg , Dari Opera Italia Sampai Ketoprak Humor"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar