Mbok Mien, Nenek Perkasa Yang Dimarginalkan



Mbok Mien, begitu orang-orang sekitarnya memanggil. Perempuan berusian kurang lebih 70 tahun itu begitu perkasa dalam mengarungi hidup. Diusianya yang senja Mbok Mien seakan tidak mengenal kata lelah dan menyerah untuk meraih mimpi-mimpinya. Ya..mimpi Mbok Mien adalah meraih kesejahteraan dari hasil jerih payahnya sendiri, serta melihat anak cucunya hidup bahagia.

Menurut Mbok Mien, dia tinggal di Jakarta semenjak PKI masih jaya dan ikut menjadi saksi hidup peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI). Waktu itu Mbok Mien masih gadis dan masih berusai sekitar 25 tahun. Di Jakarta Mbok Mien bekerja didapur umum asrama tentara Siliwangi.

Pekerjaan sebagi juru masak didapur umum asrama tentara Siliwangi di Jakarta dilakoni Mbok Mien hingga usia 50 tahun. “Bahkan saya mendapatkan suami ketika masih jadi juru masak di asrama. Suami saya itu adalah temen dari salah satu tentara Siliwangi,” kenang Mbok Mien.

Seiring perjalanan waktu, Mbok Mien bersama suaminya memilih untuk berusaha kecil-kecilan berjualan nasi di belakang Stasiun Senen. Usahanya tersebut lumayan lancar karena ditempatnya berjualan memang ramai oleh pedagang kaki lima, pengamen maupu kuli-kuli angkut.” Berkat berjualan nasi saya bisa menyekolahkan ketiga saya hingga ada yang tamat kuliah. Saya juga bisa mengontrak rumah untuk tinggal ,” kata Mbok Mien.

Memang kehidupan itu ibarat roda yang berputar, kadang ada di atas, kadang ada di tengah dan bisa juga ada di bawah. Kehidupan Mbok Mien mendapat hambatan takkala suami tercintanya meninggal dunia, beberapa tahun lalu. ” Untung anak saya sudah besar semua, jadi kehidupan yang saya lalui tidak terlalu berat. Anak saya semuanya sudah berumah tangga tapi sayang tinggalnya jauh-jauh. Ada yang tinggal di Jogja, Banten dan Bintara,” jelas Mbok Mien.

Lagi-lagi usaha Mbok Mien terantuk masalah, kali ini datangnya dari aparat pemerintah. Usaha berjualan nasi yang digeluti Mbok Mien terpaksa digusur oleh trantib Jakarta Pusat beberapa bulan yang lalu.”ya begini kalau jadi ’wong cilik’ semuanya serba terbatas, tidak banyak pilihan. Mau bermimpi saja harus kena gusur aparat,” jelasnya.

Pasca penggusuran warung nasinya yang tidak seberapa besar, Mbok Mien sempat tinggal disalah satu rumah anaknya dibilangan Bintara, namun karena kondisi perekonomian anaknya yang juga pas-pasan serat tidak betah kalau hanya berdiam diri, Mbok Mien memilih untuk tidak tinggal di rumah anaknya tapi memilih berusaha sendiri.”setelah penggusuran saya sempat tinggal di rumah anak tapi saya tidak betah dan kasihan sama anak yang juga hidup susah.”

Begitulah prisnsip Mbok Mien yang tidak mau menyusahkan orang lain. Falasafah hidupnya yang tidak mau bergantung pada orang lain senantiasa dipegang meskipun diusianya yang senja. Melihat kondisinya yang sudah renta seharusnya Mbok Mien tinggal di rumah dan menikmati hari-hari senja usianya. Tapi itulah hidup, semuanya berjalan apa adanya. Ada orang kaya yang hidup serba berkecukupan, ada juga orang susah yang hidup serba kekurangan.

Menurut perempuan asal Jogja ini, kehidupan haruslah dijalanin dengan penuh kesabaran dan berusaha keras. Karena itu sampai saat ini Mbok Mien masih berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Prinsip mandiri dan tidak menyusahkan orang lain senantiasa terpatri dalam hidupnya.

Menjadi Pedagang Asongan

”Sekeras apapun hidup mesti dilakoni karena saya yakin bahwa rezeki akan selalu ada buat saya, asalkan kita mau berusaha pasti rezeki akan kita dapatkan,” begitulah kayakinan Mbok Mien terhadap hidup. Dengan keyakinannya itu, akhirnya Mbok Mien bertekad untuk tidak bergantung pada anaknya.

Menurut Mbok Mien, setalah keluar dari rumah anaknya di Bintara, dirinya menumpang rumah kawannya yang berjualan nasi di dekat terminal pasar senen. ”Tapi saya tidak lagi berjualan nasi karena sudah gak punya modal dan barang-barang dagangan saya juga sudah hancur oleh trantib. Dan untuk menyambung hidup saya berjualan asongan,” lirih Mbok Mien.

Meskipun untung dari berjualan asongan (rokok eceran dan permen) tidak seberapa besar, menurut Mbok Mien dia bangga melakoninya karena itu adalah jerih payahnya sendiri. ”saya bangga karena saya tidak minta-minta, saya bangga karena saya tidak menyusahkan orang lain dan anak saya,” kata Mbok Mien.

Menurut Mbok Mien, modal berjualan asongan adalah sebagian sisa barang-barang yang masih bisa dijual saat berjualan warung nasi yang terkena gusur.”saya dapat modal dari hasil menjual barang-barang bekas berjualan nasi yang masih bisa dijual, banyak juga barang-barang saya yang bagus diambil orang dan yang hancur akibat penggusuran juga banyak,” jelas Mbok Mien.

Menjadi pedagang asongan menurut Mbok Mien bukanlah keterpaksaan tetapi suatu pilhan yang harus dijalani.Kalau saja saya punya modal yang besar tentu pilihannya juga akan semakin banyak. Namun karena modal yang saya miliki kecil ya pilihannya juga sedikit, ungkap Mbok Mien. Dan menjadi pedagan asongan adalah pilihan yang memungkinkan untuk saya jalani.

Menurut perempuan yang biasa berjualan di depan stasiun senen ini, menjadi pedagang asongan bukanlah impiannya. Impiannya yang sesungguhnya adalah memiliki rumah sendiri dari hasil jerih payahnya sendiri kemudian hidup sejahtera bersama anak-anaknya.

Keuletan dan kegigihan Mbok Mien patut dijadikan contoh, meskipun usianya sudah renta namun, sikapnya yang mandiri dan jiwa kewirausahaanya pantas menjadi pelajaran yang berharga. Apalagi ditengah semakin beratnya kehidupan menuntut setiap individu mempunyai sikap yang mandiri dan jiwa kewirausahaan, yaitu suatu sikap yang tidak mengandalkan belas kasih orang serta mau berusaha sendiri.

Mbok Mien, seorang nenek yang perkasa namun selalu termarginalkan oleh kehidupan. Menjadi juru masak, penjual nasi dan pedagang asongan bagi Mbok Mien adalah bagi dari durasi panjang cerita kehidupannya, ya cerita kehidupan ’wong cilik’ yang mungkin ada disekitar kita. ’Wong cilik’ yang selalu termarginalkan.

0 Response to "Mbok Mien, Nenek Perkasa Yang Dimarginalkan"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar