Guto dan Elaela: Tradis Menyambut Turunnya Malaikat Pembawa Rahmat di Maluku Utara

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemulian. Dan tahukan kamu apa itu malam kemulian?. Malam kemulian itu lebih baik dari pada malam seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat (pembawa rahmat) dan malaikat Jibril dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar,” (QS. 97:1-5) 

Malam kemulian atau dikenal sebagai malam “Lailatur Qadar” adalah salah satu malam yang ada pada bulan Ramadhan. Malam tersebut bagi umat Islam sebagai malam yang special karena mengerjakan kebaikan pada malam tersebut sama halnya mengerjakan kebaikan selama 1000 bulan atau 83 tahun sehingga umat Islam berupaya keras untuk meraihnya.

Berdasarkan ayat Al-Qur’an, pada malam kemulian tersebut atas ijin Allah para malaikat pembawa rahmat dan malaikat Jibril turun ke bumi untuk memberikan rahmat dan berkah-Nya bagi manusia yang beribadah dan mengerjakan kebajikan. Untuk menyambut datangnya para malaikat pembawa rahmat banyak tradisi yang khas dan unik diselenggarakn sala satunya adalah tradisi Guto dan Elaela di Maluku Utara.

Tradisi Guto dan Elaela adalah tradis memberikan penerangan diseluruh sudut kampung di wilayah Kesultanan Tidore dan Ternate dengan cahaya obor yang terbuat dari bambu. Tradisi tersebut dimulai menjelang 10 malam terakhir di bulan Ramadhan dan Malam 27 Ramadan adalah puncak perayaan Guto. Guto berasal dari bahasa Tidore uto, yang artinya menanam
.
Secara fisik, Guto adalah nama untuk semacam obor. Ia terbuat dari potongan bambu yang dipasang melintang. Bambu tersebut lalu diisi minyak tanah di dalamnya dan dilubangi di sejumlah sisinya. Lubang-lubang bambu kemudian dipasangi sumbu. Pada zaman dulu, orang tua-tua (leluhur, red) menggunakan damar sebagai bahan bakar sehingga selain terang, seluruh kampung menjadi wangi.
Selain Tidore, sejumlah daerah seperti Weda, Maba, dan Patani juga diketahui pernah melestarikan Guto. Ketiga daerah tersebut adalah bagian dari wilayah Kesultanan Tidore. Diketahui tradisi Guto sendiri berasa dari masa Sultan Mansur di abad ke-14.

Pada malam Lailatul Qadar, Guto dipasang di depan rumah masing-masing warga muslim. Untuk menyambut para malaikat yang turun ke bumi, warga menyiapkan sejumlah penyambutan. Guto dinyalakan, tak hanya di depan rumah, juga di sepanjang jalan, lorong, hingga ke areal pemakaman.
Di malam yang dalam ajaran Islam dipercaya lebih baik dari seribu bulan itu juga, pintu dan jendela rumah warga dibiarkan terbuka. Sarat makna memang. Sebab dengan begitu, warga ‘mengundang’ para malaikat untuk masuk ke rumah. Selain itu, uto atau menanam juga bermakna menanam amal dengan membersihkan jiwa agar kelak hasil tanaman tersebut bisa dipetik di akhirat.

Selain penyambutan terhadap malaikat Allah, tradisi Guto juga mengandung makna berbagi. Terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah. Makanya selain memasang Guto, masing-masing warga juga menyiapkan potongan pohon tebu, pisang, dan pohon buah-buahan lainnya di depan rumah mereka. Batangan pohon itu dibuatkan gantungan untuk menggantung ketupat dan beragam jenis makanan lainnya. Makanan-makanan tersebut tidak dijual, tapi diberikan kepada orang lain yang menyukainya dengan ikhlas.

Apabila seorang warga menyukai makanan yang dipajang tetangganya, ia akan menandai makanan tersebut dengan mengikatkan sapu tangan. Dalam bahasa Tidore, sapu tangan ini disebut songa. Maka makanan tersebut dengan sendirinya menjadi hak milik si pemilik songa. Jika sudah terikat sapu tangan, berarti makanan itu sudah jadi milik orang lain. Kemudian si pemilik rumah mengantar sendiri makanan tersebut kepada orang yang menandainya.

Tak hanya secara tradisi, perayaan Lailatul Qadar juga diisi dengan ibadah sesuai ajaran Islam. Pada malam tersebut, umat muslim memang dianjurkan memperbanyak salat dan amalan lainnya. Sehingga pada saat Lailatul Qadar, petani berhenti berkebun, nelayan berhenti melaut. Semuanya fokus beribadah.

Usai tarawih dan witir, warga biasanya melakukan ibadah tengah malam berupa salat sunat Lailatul Qadar 12 rakaat. Bahkan orang memperbanyak amal dengan tidak tidur sampai selesai salat Subuh.

Pada malam itu pula, Sultan Tidore akan menunaikan salat Isya dan tarawih di Masjid Kolano (Masjid Sultan, red). Sebelum salat, sang Sultan akan dijemput perangkat adat dan perangkat masjid di istananya. Di masjid, Sultan menunaikan salat di ruangan khususnya yang ditutupi lembaran kain.

Sementara itu disaat yang hampir bersamaan masyarakat Ternate juga menggelar tradisi Elaela untuk menyambut malam Lailatur Qadar. Tradisi Elaela mirip dengan Guto yaitu menerangi seluruh sudut kampung dengan obor serta menanbahkannya dengan aroma damar sebagai wewangian. Bedanya tradisi Elaela disertakan juga lampu lampion sebagai hiasan tambahan.

0 Response to "Guto dan Elaela: Tradis Menyambut Turunnya Malaikat Pembawa Rahmat di Maluku Utara"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar