“Beas Perelek”, Jaring Pengaman Sosial Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sunda

Bagi yang tinggal di Perdesaan Jawa Barat,  tentu tak asing mendengar istilah ini. beas atau beras yang dikumpulkan sepekan sekali dan dikumpulkan oleh salah seorang petugas yang berkeliling memanggul karung dari rumah ke rumah.

Dalam pepatah Sunda yang berbunyi Rikrik Gemik yang artinya menyimpan sediki demi sedikit tetapi sering dan Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok yang artinya aktivitas yang kecil namun jika dilakukan dengan sering maka akan menghasilkan banyak. Kedua pepatah Sunda tersebut dapat pula diartikan,”sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.”

Pepatah-pepatah sunda tersebut diwujudkan oleh masyarakat di perdesaan Jawa Barat dalam bentuk tradis “Beas Perelek”. Tradisi ini mengharuskan setiap warga menyumbangkan berasnya untuk dimasukan ke sebuah gelas air mineral atau dari potongan ruas bamboo yang kemudian beras tersebut diletakkan di depan rumah. Dengan penuh kesadaran dan kesabaran, petugas menarik "beas perelek" dari rumah ke rumah  setiap Jum’at siang oleh petugas yang ditunjuk, dibantu Linmas.

Beas perelek adalah tradisi masyarakat Jawa Barat yang mengumpulkan beras dalam jumlah yang sedikit, dikumpulkan secara kolektif dan dipergunakan untuk kepentingan bersama. Upaya Pada awalnya “Beas Perelek” dilakukan untuk mengantisipasi bencana alam supaya stock pangan tetap ada saat bencana menerjang. Kini beas perelek masih berfungsi sama ,namun dalam pengelolaannya beras dapat diuangkan apabila ada warga yang sangat membutuhkan.

Salah satu desa yang berhasil mengelola “Beas Perelek” adalah desa Salagedang kabupaten Majalengka yang mampu mengolah hasil “Beas Perelek” bahkan pendapatan dari beas perelek mampu membangun jalan desa. Uang hasil penjualan beras dapat juga diinvestasikan kepada warga untuk berdagang sehingga warga desa Salagedang sudah terbentuk mental untuk mandiri tanpa harus menunggu bantuan dari pemerintah.

Menurut Bupati Puwakarta, Dedy Mulyadi, tradisi “Beas Perelek” adalah spirit kasih sayang orang Sunda. Tradisi itu terbangun secara sistemik dalam masyarakat Sunda yang agraris yang terbentuk tanpa aturan formal atau dengan kata lain terbentuk karena kesadaran kolektif. Seperti selametan akan menanam, orang Sunda tidak berfikir nanti hasil tanamannya bakal untuk atau rugi saat panen kelak.

Tradis “Beas Perelek” merupakan watak asli masyarakat Sunda yang berjiwa saling tolong menolong dan bergotong royong. Ketika memasak nasi, orang Sunda harus mengingat orang lain, makanya ketika masak nasi orang Sunda akan menyisihkan segenggam beras yang kemudia di simpan di ruas bambu atau bekas botol/gelas air mineral yang diletakkan di depan rumah.

Selain bentuk kepedulian terhadap sesama, “Beas Perelek” merupakan cara untuk menyelamatkan nasi yang tidak dimakan. Karena biasanya, nasi yang dimasak selalu bersisa.Nah, itu diantisipasi dengan mengambil segenggam agar bermanfaat.

Makna teladan beras perelek, adalah melatih jiwa berkorban dari hal yang paling kecil, meningkatkan kebersamaan, sehingga percepatan perkembangan kemajuan masyarakat perdesaan lebih maju, dengan tetap mempertahankan nilai kebersamaan dan semangat gotong royong.

Istilah “Beas Perelek” sendiri diambail dari rasa orang Sunda saat bunyi bulir-bulir beras yang jatuh dalam jumlah sedikit atau segenggaman tangan. Sedangkan Satu genggam beras sama dengan satu perelek.

Asal Muasal

Tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi “Beas Perelek” ini di mulai di wilayah perdesaan Jawa Barat, tradisi ini berkembang pesat di masyarakat perdesaan Jawa Barat yang bercorak agraris. Kemungkinan tradisi tersebut merupakan bentuk rasa syukur masyarakat terhadap hasil panen berupa padi. Seperti halnya tradisi Seren Taun sebagai sebuah tradisi untuk ungkapan rasa syukur saat panen tiba.

Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno.

 Acara inti dari perayaaan Seren Taun adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk atau bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.

Kemungkinan tradisi “Beas Perelek” merupakan bagian dari tradisi Seren Taun yang mengaharuskan masyarakat Sunda menyisihkan segemgam beras untuk disumbangkan buat kepentingan bersama sebagai ungkapan rasa syukur terhadap sesama manusia. (DAM/dbs)

0 Response to "“Beas Perelek”, Jaring Pengaman Sosial Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sunda"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar