Tabot, Pesta Berkabung dan Akulturasi Budaya yang Senyap

Bulan Muharram bagi umat Islam menempati posisi yang teramat penting karena pada bulan inilah tonggak peradaban Islam di mulai. Begitu pula bagi masyarakt Indonesia, bulan Muharram memiliki tempat yang istimewa sehingga banyak tradisi atau ritual-ritual tertentu dilaksanakan pada bulan Muharram.

Tradisi yang dilaksanakan pada Muharram biasanya merupakan bentuk akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan local. Seperti prosesi upacara ruwatan, penyucian benda-benda pusaka, kirab  di keraton Surakarta dan Ngayogyakarta, ‘kum-kum’ di laut atau sungai, puasa, bersemedi, dan lain sebagainya. 

Akulturasi budaya tersebut dapat ditelusri ketika Kesultanan Islam Mataram mulai berkuasa di tanah Jawa dan semakin memiliki legitmasi pada masa pemeritaha Sultan Agung berkuasa (1613-1645) dengan menetapkan 1 Suro atau 1 Muharram sebagai dimulainya bulan dalam kalender Jawa.

Sama halnya di Jawa, di Bengkulu juga ada tradisi dalam menyambut datangnya bulan Muharram yang dikenal dengan Tabot. Tradisi Tabot adalah upacara berkabung  dalam rangka mengenang wafatnya Cucu Nabi Muhammad SAW Husein bin Ali bin Abi Thalib R.A. saat berperang di padang karbala, Irak.

Perayaan Tabot di Bengkulu pertama kali dicetuskan oleh Syeh Burhanuddin atau lebih dikenal dengan nama Imam Senggolo pada tahun 1685. Syeh Burhanuddin menikah dengan wanita Bengkulu. Kemudian anak, cucu dan keturunan dari Syeh Burhanuddin disebut sebagai keluarga Tabot.

Upacara Tabot dilaksanakan dari tanggal 1 sampai tanggal 10 Muharram setiap tahun. Istilah Tabot senidiri berasal dari bahasa Arab Tabut yang berarti kotak kayu atau peti. Dalam al-Quran kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang berisikan kitab Taurat. Bani Israil di masa Nabi percaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikkan bila Tabot berada di tangan pemimpin mereka. Sebaliknya mereka akan mendapatkan malapetaka bila benda itu hilang atau dicuri.

Akulturasi budaya dalam upacara tabot di Bengkulu berbeda dengan ritual malam 1 suro di Jawa. Proses akulturasi di Jawa terlihat ‘gegap gempita’ dengan melibatkan kekuatan politik dan pemerintahan.  Sedang akulturasi budaya dalam perayaan tabot terlihat ‘senyap’ karena hanya melibatkan rakyat jelata.

Prosesi Tabot

Inti dari upacara Tabot adalah mengenang para pengikut Husein bin Ali dalam mengumpulkan potongan tubuh Husein bin Ali, mengarak dan menguburkannya di padang Karbala. Prosesi tersebut di simbolisasikan dengan mengambik (mengambil) tanah dari 2 tempat keramat di Bengkulu, yaitu di Keramat Tapak Padri dan Keramat Anggut. Proses mengambik tanah  juga mengingatkan manusia tentang asal bahan penciptaannya.Prosesi ini berlangsung pada tanggal 1-4 Muharram.

Tanah yang telah diambil kemudian ditempatkan di dalam replika keranda Imam Husein. Berikutnya diiringi lantunan musik tradisional. Setelah itu,replica keranda  dan puluhan tabot akan diarak mengelilingi kampung di Bengkulu. Dalam iring-iringan akan terdengar hentakan suara khas alat musik dol yang berbentuk tambur bulat terbuat dari akar bagian bawah pohon kelapa.

Perayaan ini layaknya parade kendaraan hias dimana prosesi akhir adalah pembuangan tabot di Karabela yaitu sekira 3 km dari lokasi festival. Karabela merupakan pemakaman umum dimana syekh Burhanuddin dimakamkan. Pengarakan keranda dan tabot ke tempat pembuangan ini merupakan acara puncak Festival Tabot.

Sejarah Tabot

Tidak ada sejarah yang menuliskan sejak kapan upacara Tabot dilaksanakan di Bengkulu. Diduga kuat upacara berkabung para penganut paham Syi’ah ini dibawa oleh para pekerja yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719). Para pekerja bangunan tersebut, didatangkan oleh pasukan Inggris dari Madras dan Bengali (bagian selatan India) yang kebetulan merupakan penganut Islam Syi‘ah.

Pekerja yang merasa cocok dengan kehidupan masyarakat Bengkulu yang dipimpin Syekh Burhanuddin akhirnya memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas. Saat ini Berkas lebih dikenal sebagai nama Kelurahan Tengah Padang. Kemudian pekerja tersebut mewariskan tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali kepada keturunan mereka yang telah bercampur dengan masyarakat Bengkulu asli dan keturunannya. Masyarakat ini kemudia dikenal dengan sebutan orang Sipai.

Tradisi berkabung yang dibawa pekerja dari negara Madras dan Bengali mengalami percampuran dengan budaya setempat. Seiring dengan perkembangan zaman kemudian budaya tersebut dikenal dengan upacara Tabot. Penyebaran upacara Tabot tidak hanya di Bengkulu. Pengaruhnya meluas sampai ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil.

Seiring perkembangannya, upacara Tabot tidak bsia bertahan lama di luar Bengkuku. Sekarang Tabot hanya bisa dinikmati di dua tempat yaitu Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumatra Barat dengan sebutan Tabuik. Inti upacara keduanya sama, namun cara pelaksanaannya yang agak berbeda. (DAM/dbs)

0 Response to "Tabot, Pesta Berkabung dan Akulturasi Budaya yang Senyap"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar