Tradisi Selikuran, Saat Orang Jawa Mengharap Berkah Malam Seribu Bulan

Tradisi malam selikuran adalah tradisi budaya sekaligus religius yang penuh makna. Tentunya hal ini sangat istimewa, karena anda dapat menyaksikan bagaimana antara budaya dan religi saling bersatu dan menguatkan. Bagi anda penyuka kajian agama dan budaya, tentu tidak akan mau ketinggalan peristiwa ini .

Dalam menyemarakkan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, masyarakat berlomba-lomba mendapatkan malam kemuliaan (malam Lailatul Qadar), yang dalam al Qur’an disebutkan sebagai malam seribu bulan. Diantara cara untuk mengharap berkah dari turunnya Lailatul Qadar tersebut, masyarakat Jawa biasanya mengadakan sebuah kegiatan dengan mekukan malam “Likuran” (tradisi Selikuran). Merupakan salah satu tradisi luhur yang diwariskan dan tetap lestari hingga kini, seperti di Keraton Surakarta, Yogyakarta, Surakarta, dan masyarakat pedesaan Jawa lainnya.

Tradisi Selikuran berasal dari bahasa Jawa yakni Selikur (sebutan bilangan 21), yang maknanya kurang lebih “Sing Linuwih le Tafakur”, sedang Tafakur artinya orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan begitu dalam melakukan ibadah puasa Ramadan kita benar-benar khusuk dan berkualitas, baik dengan memperbanyak sedekah, I’ktikaf di masjid, tadarus Alquran, dan lain-lain. Semua amalan itu merupakan upaya dalam memeroleh kemuliaan yang ada dalam Lailatul Qodar, sebab malam kemuliaan tidak dapat diperoleh kecuali dengan kesiapan rohani yang bersih juga suci.

Tradisi ini sesungguhnya sudah lama muncul seiring dengan masuknya Islam ke Pulau Jawa, yang dilakukan para Wali Songo dalam dakwahnya dengan menggunakan pendekatan budaya, yaitu menggunakan budaya Jawa untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dalam Bauwarna Adat Tata Cara Jawa karya Bratasiswara menyebutkan, Selikuran merupakan upacara adat peringatan Nuzulul Quran dalam maleman Sriwedari Surakarta yang digelar setiap tanggal 21 Ramadan. Ritual ini diilhami dari Serat Ambya yang menyebutkan tiap tanggal gasal (ganjil) dimulai sejak 21 Ramadan Nabi Muhammad SAW turun dari Gunung Nur, yaitu setelah menerima ayat-ayat suci Alquran (wahyu).

Selikuran dalam perspektif Islam adalah berawal dari Rasulullah Saw yang beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadan, Nabi Saw bersabda, “carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (Bukhari dan Muslim). Dan Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab sesuai yang ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw : “apakah kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut” (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.

Seiring perjalanannya, banyak warna dan bentuk pelaksanaan malam selikuran ini, misalnya upacara malam Selikuran yang dilaksanakan masyarakat pedesaan yang akrab dengan adat Jawa, yaitu masyarakat desa melaksanakan ritual kenduri di rumah setiap keluarga. Kenduri dengan hidangan nasi dan lauk-pauk yang disebut Rasulan, diadakan pada setiap malam tanggal ganjil, yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan berakhir tanggal 29 Ramadan). Ada juga pada acara selikuran dengan menyalakan lampu lampion (ting) dengan warna-warni disetiap rumah dan jalan-jalan. Disamping itu, tradisi jaburan juga mewarnai di dalamnya, yaitu upaya menyediakan konsumsi bagi acara likuran dengan cara gotong royong sistem giliran, dengan kuantitas dan kualitas jaburan seikhlasnya. Ada juga acara khataman, yaitu sebuah acara do’a bersama sebagai tanda selesainya membaca Alquran. Dan masih banyak lagi acara-acara yang dilakukan pada malam selikuran ini. Tentunya semua kegiatan tersebut sebagai upaya memperbanyak peribadatan kepada Allah dan penyucian diri.

Fase setelah masuk pada tahap sepuluh hari terakhir Ramadan (disebut malam kemuliaan), dalam tradisi Islam dipercaya bahwa siapa saja yang dapat meraih malam tersebut, akan mendapatkan kemuliaan yang sangat luar biasa dalam kehidupannya kedepan, sebagai pengalaman spiritual untuk bekal hidup di dunia dan akhirat, penuh dengan keselamatan dan kebahagiaan, juga dibebaskannya dari api neraka. Sehingga wajar ketika pada malam selikuran umat Islam tidak terkecuali masyarakat Islam Jawa mengadakan berbagai tradisi untuk menyambut datangnya malam kemuliaan, dengan penuh keseriusan dan keikhlasan.

Zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa memang membawa pengaruh besar terhadap segala aspek kehidupan masyarakat, terutama dengan dimulainya proses peralihan kepercayaan dari Hindu-Buddha ke Islam. Akhirnya hingga kini, konsep sinkretisme Islam Jawa masih terpancar kuat di dalam setiap ritual budaya masyarakat Jawa, termasuk tradisi selikuran sebagai kegiatan untuk menggapai malam kemuliaan yang penuh barokah dan kebaikan, yang dinilainya sama dengan ibadah seribu bulan. (dn/dbs)

0 Response to "Tradisi Selikuran, Saat Orang Jawa Mengharap Berkah Malam Seribu Bulan"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar