Singgah di Lembah Bada di pelosok Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah, serasa masuk ke Bedrock, kota fiksi zaman prasejarah dalam film ”The
Flintstones”. Sensasi kembali pada
“zaman batu” sangat terasa .
Lembah yang berada di bagian selatan kawasan Taman Nasional Lindu ini barangkali hanya satu-satu nya di Indonesia bahkan di benua Asia. Nama lembah ini adalah lembah Bada. Wilayah dataran yang rata memang banyak bisa di temui, namun lembah Bada memiliki satu hal yang tak dimiliki oleh lembah-lembah pada umumnya, yakni tebaran ratusan peninggalan zaman prasejarah.
Berada di sebelah selatan kota Palu atau di
sebelah barat Tentena (masuk dalam wilayah kabupaten kabupaten Poso), lembah
Bada bisa di capai dengan menggunakan kendaraan umum yang melayani rute termina
Mosamba (di kota Palu) – Gimpu. Moda transportasi berupa minibus ini akan
sampai di Gimpu setelah bergerak selama 3 jam dari kota Palu.
Sesampai di Gimpu, kendaraan Ojek adalah
kendaraan yang bisa menghantarkan wisatawan atau pelancong menyusuri
perbukitan. Perjalanan menggunakan kendaraan beroda dua ini akan memakan waktu
selama kurang lebih 4 jam.
Bila titik awal perjalanannya adalah Tentena, lembah yang memiliki sejuta pesona ini bisa di datangi dengan mengendarai kendaraan Four Wheel Drive selama 4 jam lebih. Kondisi jalan yang belum bagus dan rintangan berupa sungai-sungai kecil memang mengharuskan penggunaan kendaraan special Off-Road untuk mencapai lembah Bada.
Pilihan rute perjalanan singkat yang juga
bisa dipilih adalah dengan menaiki pesawat perintis milik maskapai penerbangan
MAF dengan rute Tentena – Bada. Sesampai di Bada, lembah yang juga merupakan
tempat tinggal bagi masyarakat setempat ini bisa di capai dengan berjalan kaki/
trekking. Sesampai di lembah Bada panorama yang spektakuler segera akan
menyambut kedatangan wisatawan.
Sebuah hamparan luas rerumputan yang di
selingi oleh kontur tinggi-rendah milik perbukitan yang menghijau sungguh
menyajikan nuansa yang indah. Kawasan ini begitu luas hingga kerap kali bisa di
saksikan hujan turun di satu bagian lembah namun di bagian lain matahari masih
memancarkan cahaya panasnya dari balik iring-iringan awan. Jika angin berhembus
kencang maka akan bisa di saksikan tirai air hujan yang bergerak menyapu
kawasan lembah.
Lembah ini juga memiliki beberapa sungai yang
mengalir menghiasi dataran nya. Diantara nya adalah Sungai Lairiang dan Malei.
Bagian sungai Malei sendiri sebenarnya menyatu dengan Lairiang, arus sungai
Malei menambah deras kecepatan dan kekuatan air yang mengalir di sungai
Lairiang.
Sensasi
Megalitikum
Kondisi bentukan alam ini menyebabkan kedua
sungai tersebut menjadi area yang menantang bagi peminat olah-raga rafting. Kecantikan
alam yang mempesona tersebut semakin bertambah dengan keberadaan ratusan
beragam artefak dan patung dari zaman pra-sejarah (megalithikum).
Artefak dan patung yang usianya lebih tua
dari candi Borobudur ini merupakan bagian dari 1.451 yang letaknya menyebar di
kawasan taman Wisata Lore Lindu. Situs-situs yang kurang lebih sama juga bisa
di temukan di lembah Besoa dan wilayah kabupaten Poso lainnya.
Peninggalan prasejarah berusia 3000 hingga
4000 sebelum masehi itu juga masih berada di tempat aslinya, yakni di Kecamatan
Lore Selatan dan Kecamatan Lore Utara. Keduanya masih berada di wilayah
kabupaten Poso.
Oleh penduduk setempat, patung-patung yang semuanya
menghadap ke bagian barat tersebut biasanya di beri nama sesuai dengan nama
lokasi di temukan nya. Beberapa diantaranya adalah Palindo, Torompana, Tarae
Roe dan Loga. Kisah-kisah unik milik masyarakat setempat juga turut melatar
belakangi keberadaan setiap patung yang ada di lembah Bada.
Salah satunya adalah patung Palindo yang
berdiri miring di atas permukaan tanah. Masyarakat setempat mempercayai bahwa
patung yang tadinya berdiri tegak tersebut adalah sumber kekuatan bagi suku
Lore, penghuni asli lembah Bada. Orang-orang Toraja yang mengakui akan hal
tersebut kemudian berupaya memutar arahnya.
Alih-alih berhasil, kedelapan orang yang
melakukan nya justru terjepit di bagian bawah patung Palindo sehingga
membuatnya menjadi miring. Keberadaan tulang-belulang di sekitar patung
membuktikan kejadian itu.
Namun versi lain nya juga mengatakan bahwa
miringnya patung Palindo di sebabkan oleh gesekan badan kerbau ke patung untuk
menghilangkan gatal di badan hewan yang memang besar populasinya di lembah Bada
tersebut. Gesekan yang banyak terdapat di patung setinggi 3 meter ini menjadi
bukti dari kisah itu.
Di lembah Besoa, yang juga masih berada di
kawasan Taman Nasional Lore Lindu terdapat pula patung ‘Tadulako’. Meski
kebenaran nya masih harus dipertanyakan, patung tersebut di percaya sebagai
panglima armada perang sebuah suku yang hidup di sekitar 3000 tahun sebelum
masehi. Sang panglima perang ini menjadi batu setelah kepalanya dipukul dengan
batang alu oleh seroang wanita.
Hanya berjarak 50 meter dari patung Tadulako,
sebuah artefak berbentuk ember yang besar bisa di saksikan. Artefak yang di
percaya adalah bak mandi milik putri-putri raja ini bernama ‘Kalamba’. Seperti
juga bak mandi nya, artefak ini memiliki tutup yang terbuat dari batu alam.
Lembah Beso sendiri terletak di ketinggian
1.000 meter di atas permukaan laut. Dari Bada, lembah ini bisa di capai dengan
berjalan kaki sejauh 1 Km. Panorama menarik dari hamparan persawahan dan
aktivitas petani yang sedang menggarap lahan-lahan mereka menjadi bagian dari
perjalanan tersebut. (DAM)
0 Response to " Menikmati Sensasi "Zaman Batu" di Lembah Bada"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar