Ruwatan, istilah ini sangat erat hubungannya dengan budaya Jawa, merupakan salah satu dari berbagai tradisi kejawen yang oleh beberapa masyarakat asli Jawa masih dilestarikan hingga saat ini. Ruwatan diambil dari kata “ruwat” yang berarti merawat dan menjaga. Secara umum, ruwat diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan kepada keadaan yang lebih baik dengan melakukan ritual pembuang sengkolo (kesialan).
Membuang kesialan disini bisa berupa kesialan diri (pribadi), lingkungan, atau masyarakat. Adapun ritualnya bisa dengan mengadakan acara pagelaran pewayangan atau proses ritual untuk membuka aura diri.
Namun uniknya, tradisi ini hingga sekarang masih mengundang permasalahan dan tak jarang menimbulkan pertentangan antara kalangan Islam dengan masyarakat Jawa pada umumnya.
Dari kalangan Islam sendiri meyakini tradisi ini terkesan sarat dengan aura kemusyrikan lantaran terdapat beberapa amalan yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam, sehingga ada sebagai umat menjustifikasi bahwa tradisi ini adalah suatu yang baru dan diada-adakan yang tidak boleh dilakukan oleh umat Islam.
Namun jika dilihat dari presepektif sejarah, tradisi ruwatan juga berkontribusi dalam penyebaran ajaran agama Islam. Adalah para wali yang memiliki andil besar dalam proses akulturasi dalam tradisi ruwatan tersebut.
Lantas bagaimana tradisi ruwatan ini bermula? Dari berbagai literatur, tradisi ruwatan sejatinya terinspirasi oleh dongen Hindu-Budha yang bersifat mitos. Konon, Bathara Guru dan permaisurinya yang bernama Dewi Uma ketika bercengkerama di atas laut Pemancingan dengan mengendarai lembu Andhini.
Suatu ketika, Bathara Guru berkeinginan untuk bersatu rasa. Tetapi Dewi Uma tidak mengizinkan, sehingga benih Bathara Guru tumpah ke lautan. Benih yang tumpah itu kemudian berubah wujud menjadi raksasa yang sangat besar dan sakti yang dinamakan Bathara Kala.
Bhatara Kala ini selanjutnya naik ke tempat bersemayamnya para Dewa yang disebut Suralaya.
Sesampainya di sana, raksasa meminta makanan dari manusia-manusia. Manusia-manusia ini dijadikan mangsanya Bathara Kala yang oleh Bathara Guru disebut manusia Sukerta dan Jalma Aradan. Manusia sukerta dan Jalma Aradan inilah yang nantinya dilakukan proses peruwatan.
Tradisi ruwatan sangat erat kaitannya dengan bergantinya tahun dalam kalender Islam maupun Jawa. Biasanya ruwatan dilaksanakan pada bulan Muharram atau bulan Suro dalam istilah Jawa. Kata Suro itu sendri diambil dari kata Asyura yang artinya hari kesepuluh dibulan Muharram.
Bagi umat Islam bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang memiliki keistimewaan. Pada bulan tersebut Allah melarang berperang dan mebunuh serta menganjurkan puasa dan bersedekah. Singkatnya umat Islam dianjurkan untuk banyak bersyukur dan berbuat kebaikan pada bulan ini serta memohon doa keselamatan.
Tetapi bagi masyarakat Jawa pada umumnya, bulan ini dianggap sebagai bulan yang penuh malapetaka dan kesialan. Hal ini dapat diperhatikan sekilas dari pemaknaan bulan ini yang bernama “suro”, kemudian seakan-akan beralih maknanya menjadi “soro” yang berarti sial.
Karena bulan tersebut dianggap sial, maka masyarakat Jawa kuno menggelar berbagai macam ritual ruwatan yang bertujuan agar mereka terhindar dari kesialan dan marabahaya yang terjadi di bulan tersebut. Karena itu akad nikah, membangun rumah, hajatan dan lain sebagainya sebaiknya tidak dilaksanakan pada bulan Suro.
Akulturasi Budaya
Ruwatan dalam konteks akulturasi budaya Jawa dengan ajaran Islam adalah ketika prosesi ruwatan tidak lagi menggunakan ritual-ritual yang mengundang kemusyrikan, namun tidak merubah makna essensialnya– yakni memohon keselamatan kepada Allah melalui pendekatan budaya berupa simbol-simbol dasar, seperti pagelaran wayang kulit, siraman, dan potong rambut.
Disinilah letak kehebatan dakwah ulama-ulama terdahulu (wali songo tentunya) yang berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat tanpa menghapus ajaran Islam yang pokok, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat yang justru lama-kelamaan akan sadar dengan sendirinya atas kepercayaannya yang selama ini mereka peluk.
Di satu sisi mereka menyebarkan agama Islam, namun di sisi lain mereka tidak berkeinginan untuk menolak apa yang telah menjadi tradisi mereka. Dengan itu, mereka melakukan dakwah dengan cara yang santun melalui beberapa inovasi dan konstruksivasi budaya nenek moyang yang sarat kesyirikan dan kejahiliyyahan yang kemudian diarahkan pada budaya yang tidak bertentangan dengan Islam.
Salah satu contoh yang lazim dilakukan dalam prosesi ruwatan ini adalah pengambilan air dari sumur tertentu yang sudah diberi larutan doa yang biasa dipakai oleh seorang kyai untuk siraman. Kemudian memotong rambut dan labuhan yang hanya sebatas simbol saja sebagai sarana penyucian diri sebagaimana seseorang yang bertaubat, mu’allaf ataupun simbol hijrah.
Salah satu segmen dalam proses ruwatan, yaitu pegelaran wayang kulit juga telah meneriam sentuhan akulturasi, yaitu disisipkannya nilai-niali ketauhidan dalam cerita wayang. Seperti Layang Kalimasada dan Petruk Jadi Raja.
Lalu pembuatan sesajen, yang ditaruh di punden atau tempat-tempat yang dianggap keramat untuk ditujukan kepada roh-roh halus, kemudian diubah menjadi sedekah. Jadi, walaupun namanya ruwat, tapi unsur-unsur di dalamnya telah terislamkan. (deni/dbs)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
artikel agan sangat mudah dipahami makasih atas apreasi dalam menulis postingan yang baik dan benar semoga jadi amal ibadah buat agan :D
BalasHapusyo dari Tutorial Blogger | SEO