Mudik, Warisan Budaya yang Sarat Makna

Kata “Mudik” berasal dari kata ‘udik’ yang artinya arah kampung/desa, arah hulu sungi, arah pegunungan.  Jadi orang yang pulang kampung disebut “me-udik”, yang kemudian dipersingkat menjadi mudik. Jadi pada esensinya, pengertian kata mudik itu adalah (orang-orang yang tinggal di kota) yang berlayar ke hulu sungai, atau pulang ke kampung.

“Mudik” secara ekplisit maupun implisit tidak pernah diperintahkan dalam ajaran agama apalagi menjadi bagian dari ibadah yang diwajibkan. Namun hiruk pikuk kesibukan mudik mulai terasa manakala Ramadhan memasuki minggu akhir hingga mengalahkan kekhusuan ibadah puasa.

Mungkin tradisi mudik yang paling “heboh” hanya ada di Indonesia. Media massa baik cetak dan elektronik secara intensif  dan massif menyoroti kegiatan mudik dari mulai H -7 lebaran hingga H+7 lebaran. Mudik juga melibatkan berbagai sector terkait, mulai dari pekerjaan umum yang mempersiapkan kondisi jalan yang akan dilewati pemudik hingga kepolisian yang mengamankan para pemudik dijalan.

Suasana antrian di loket-loket  bis, kereta api, kapal laut, serta pesawat terbang  juga ikut riuh bersama wajah-wajah dengan ekspresi harap-harap cemas  untuk mendapatkan tiket yang belum tentu didapatkan dan pastinya harganyapun naik tidak seperti biasanya. Bahkan ada yang sudah jauh-jauh hari memesan tiket agar dapat mudik pada hari lebaran kelak. Belum lagi suasana diperjalan yang begitu krodit dengan kemacetan yang mengular tidak membuat kapok para pemudik untuk mudik.

Kalau ditinjau dari prespektif teologis tidak ada nash atau rujukan ayat dalam Alquran maupun Alhadist yang mewajibkan untuk mudik. Paling tidak rujukan teologi yang paling mendekati perintah untuk mudik adalah anjuran untuk bersilaturahmi dan menyambungnya. Itupun bukan perintah yang hukumnya wajib.

Memang ada berbagai alasan mengapa orang balik mudik lebaran. Namun, fenomena mudik jelas berkaitan erat dengan alasan kultural yang menyangkut tiga hal pokok, yaitu kebutuhan kultural untuk mengunjungi orang tua dan keluarga, berziarah ke makam kerabat, dan menilik warisan tinggalan keluarga di tempat asal. Jika ketiga alasan itu tidak hadir, maka dapat dipastikan dorongan untuk mudik menjelang lebaran hampir tidak ada. Namun yang paling pokok dari ketiga hal itu tampaknya adalah alasan untuk mengunjungi orang tua dan kerabat (silaturahmi).

Pada para pemudik, umumnya ada semacam kebutuhan kultural yang seolah-olah sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat lebaran. Kebutuhan kultural itu begitu kuatnya dan mendorong orang untuk pulang mudik.

Dorongan itu semakin kuat dengan adanya persepsi bahwa kesempatan yang paling cocok dan pantas bagi anak-anak untuk sungkem dan mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan kepada orang tua dan kerabat mereka adalah pada saat lebaran. Sebaliknya, di hari itu pulalah kesempatan yang dinanti-nantikan para orang tua untuk bertemu dengan anak-anaknya, memberikan maaf dan doa restu agar anak-anak itu dapat hidup dalam ketentraman dan lebih sejahtera dimasa mendatang.

Begitu kuatnya nilai budaya itu merasuk dalam darah kehidupan masyarakat Indonesia itu sehingga mampu mengalahkan berbagai halangan untuk memenuhi tuntutan kultural itu pada saat lebaran. Bahkan dalam pelbagai kasus ditemukan pula bahwa mereka yang memeluk agama selain islam pun, juga berusaha meluangkan waktu untuk bertemu dengan orang tua dan sanak keluarganya di kampung pada saat lebaran itu. Karena itu, tidak salah dikatakan bahwa kebutuhan kultural untuk mudik telah melewati batas keyakinan keagamaan dan telah menjelma menjadi kebutuhan kultural bangsa.

Milik Banyak Bangsa

Selain di Indonesia  tradisi mudik juga dimiliki beberapa bangsa dunia. Di China tardisi mudik dilaksanakan dalam pada tahun baru Imlek. Saat libur Imlek, sebagian besar dari mereka memutuskan untuk pulang kampung atau pergi ke daerah pedesaan. Konon, mudik Imlek di kampung halaman itu dianggap yang terbesar di dunia. Maklum, China adalah negeri dengan jumlah penduduk terbanyak.
Aktivitas mudik juga ada Korea yang terlihat saat Chuseok. Chuseok ditetapkan sebagai hari libur resmi di Korea dan dirayakan secara besar-besaran pada bulan ke-8 di hari ke-15 penanggalan bulan. Disebut juga Hari Panen, Festival Bulan Musim Panen, atau Hangawi (hari besar di tengah-tengah musim gugur).

Bagi kebanyakan masyarakat Korea, jika mendengar kata Chuseok, maka hal-hal yang terlintas di pikiran mereka adalah kemacetan parah, mudik, dan peringatan arwah leluhur. Saat Chuseok, kebanyakan orang Korea akan bepergian dengan keluarga dan teman-temannya.

India juga punya tradisi mudik untuk merayakan Festival Cahaya atau Diwali (Deepavali). Menurut kalendar Gregorian, biasanya perayaan ini jatuh pada bulan Oktober atau November, dan dirayakan selama lima hari berturut-turut.

Diwali digelar untuk memperingati kembalinya Rama yang merupakan Raja Ayodhya, istrinya, Sinta, dan adiknya Laksamana ke Ayodhya dari perang di mana Rama membunuh Rahwana. Festival ini juga menandakan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Saat perayaan, rumah-rumah didekorasi dengan kilauan di mana-mana. Malam Diwali pun meriah dengan petasan-petasan di sepanjang jalan.

Lain halnya bangsa Amerika, memilih mudik pada saat perayaan Thanksgiving  Perayaan ini jatuh setiap hari Kamis keempat di bulan November. Thanksgiving merupakan liburan terpopuler di AS karena menjadi kesempatan orang Amerika mengunjungi sanak famili.

Untuk diketahui, Thanksgiving dimulai sejak abad 17. Mereka berpesta dan berdoa bersama di musim gugur dengan keluarga dan kerabat dekatnya sebagai bentuk terimakasih kepada Squanto. Sebab pria Indian itu telah mengajarkan penduduk Plymouth, Massachussets, cara bertahan hidup dengan menangkap belut dan menanam jagung. (deni)

1 Response to "Mudik, Warisan Budaya yang Sarat Makna"

Silahkan beri komentar