Tukang Bakso naik Haji
Di suatu senja sepulang kuliah, saya masih berkesempatan untuk bersantai di depan rumah, setelah hampir satu jam saya istirahat sambil minum secangkir teh hangat, terdengar suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat, saya panggil tukang bakso itu dan saya memesan beberapa mangkok bakso, setelah saya tanya adik-adik juga ingin makan bakso. Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya, ada satu hal yang mengganjal di fikiran saya selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya, dimana yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet dan yang lainnya disimpan di kaleng bekas kue seperti celengan, atas rasa penasaran lalu saya bertanya "Mas kalau boleh tahu, kenapa uang-uang itu Mas pisahkan, barangkali ada maksud dan tujuan ?", kata saya. Tukang bakso pun menjawab : "Iya dek, selama 17 tahun saya menjadi tukang bakso, setiap hari saya selalu memisahkannya, ya tujuannya sederhana saja, saya hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak saya, mana yang menjadi hak orang lain atau tempat ibadah dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman ". Mendengar jawaban seorang tukang bakso itu saya benar-benar terkejut dan saya melanjutkan bertanya."Maksudnya Mas ?", Sambil bersandar di tembok pagar rumah saya, tukang bakso itu menjawab : "Iya Bu, kan agama dan Allah menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama, dan saya membagi menjadi 3, dengan pembagian :1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari saya dan keluarga.2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban, dan Alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, saya selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja. 3. Uang yang masuk ke celengan, karena saya ingin menyempurnakan agama yang saya pegang yaitu Islam dan Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar maka saya berunding dengan istri dan istri menyetujui bahwa disetiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, saya harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji, dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi saya dan istri akan melaksanakan Ibadah haji. Terus terang sedikitpun saya tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari seorang tukang bakso, hati saya benar-benar sangat tersentak juga tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki pikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu dan seringkali berlindung di balik kata tidak mampu atau belum ada rezeki. Kemudian saya melanjutkan pertanyaan :"Iya memang itu bagus Mas, tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya ". kata saya.Tukang bakso menjawab : "Itulah sebabnya Bu, saya justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini, karena definisi mampu itu bukan hak Pak RT atau Pak RW, bukan hak Pak Camat ataupun MUI. Definisi "mampu" adalah sebuah Definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri, kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu, sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya, Allah akan memberi kemampuan pada Kita".Subhanallah, betapa mulianya tukang bakso ini, sama sekali saya tidak menyangka akan mendengar sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso, yang tentunya patut kita semua contoh. Obrolan singkat saya dengan tukang bakso yang sederhana ini, semoga memberi hikmah terbaik bagi kehidupan kita. Aamiin.
0 Response to "Obrolan Singkat Penuh Makna"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar