Tanjidor, Jazznya Betawi

Satu lagi kesenia music asal Betawi yang dipengaruhi oleh budaya asing. Maklum sejak berabad-abad kota ini sudah didatangi beragam bangsa. Termasuk bangsa Portugis yang datang sebelum Belanda. Konon cerita Tanjidor ini dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Eropa.

Bangsa di Eropa Selatan itu ikut memasukkan unsur keseniannya dalam bentuk musik tanjidor. Karena dimainkan oleh sepuluh bahkan sampai belasan orang dengan berbagai alat musik, sehingga ada yang mengkategorikannya sebagai ”musik jazz Betawi”.

Perkiraan asal muasalnya dari Portugis, karena berasal dari kata ”tanger”, yang berarti memainkan alat musik–pada pawai militer atau upacara keagamaan. Entah kenapa, kata ”tanger” kemudian diucapkan jadi tanjidor.

Mungkin generasi sekarang tidak banyak lagi mengenal musik klasik yang satu ini. Padahal, sampai pertengahan 1950-an, tanjidor ‘ngamen’ dari kampung ke kampung, terutama untuk memeriahkan perayaan Lebaran, pergantian tahun, dan Imlek (tahun baru Cina).

Pada saat Imlek, hari-hari ngamen tanjidor jauh lebih lama. Pasalnya, Imlek dirayakan sampai Capgomeh atau hari ke-15 Imlek. Pengamen tanjidor berasal dari daerah pinggiran Betawi, yaitu Karawang, Bekasi, Cibinong, dan Tangerang. Saat ngamen mereka terpaksa menginap di Jakarta, meninggalkan keluarganya di kampung.

Peralatan yang mereka bawa pun cukup berat, seperti terompet Prancis, klarinet dan tambur Turki, serta terompet besar. Yang menyedihkan, mereka ngamen dengan berjalan kaki tanpa alas sepatu atau sandal.

Berasal dari budak

Ernst Heiinz, ahli musik Belanda, berpendapat bahwa tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik oleh tuannya. Hal ini dipertegas oleh sejarahwan Belanda yang banyak menulis tentang Batavia bahwa orkes tanjidor kemudian muncul pada masa kompeni.

Sampai 1808, kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota, seperti di Cilitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di vila-villa yang megah dan mewah itu, mereka mempekerjakan ratusan budak. Di antara mereka ada yang khusus memainkan alat-alat musik untuk menghibur para tuan saat jamuan makan malam dan kegiatan pesta lainnya. Ketika perbudakan dihapuskan 1860, mereka membentuk perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.

Dalam perkembangannya kemudian, orkes rakyat ini dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan, antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, dan Cakranegara.

Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Tapi, Tanjidor juga membawakan lagu-lagu Betawi asli, seperti Jali-Jali, Surilang, Kicir-kicir, Cente Manis, Stambul, dan Parsi. Pada 1954, Walikota Sudiro melarang musik tanjidor ngamen. Pelarangan ini tentu saja membuat para senimannya menjadi kecewa.

Tanjidor Kini

Selaras dengan pergeseran zaman, sebagian besar alat musik yang hingga kini masih digunakan termasuk kategori instrumen yang sudah usang dan cacat. Barang bekas yang sudah pada peyot dan penyok-penyok ini toh masih bisa berbunyi. Kendati suaranya kadang-kadang melenceng ke kanan dan ke kiri alias fals.

Saking tuanya, alat musik tersebut sudah ada yang dipatri, dan ada pula yang diikat dengan kawat agar tidak berantakan. Tetapi semua itu tidak mengurangi semangat penabuhnya yang umumnya juga sudah pada lanjut usia.

Sekali pernah, kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, menyelenggarakan Festival Tanjidor beberapa waktu lalu di Anjungan DKI, Taman Mini Indonesia Indah. Namun pesertanya tidak sampai belasan, menandakan jenis musik ini mulai berkurang. Menilik sosok perkumpulan musik tersebut hampir sebagian besar pemusiknya sudah tua renta. Kemungkinan penyelenggara ingin tahu sejauh manakah perkembangan musik ini dan siapa pendukungnya ? Tanjidor, masihkah berbunyi ?

Memang, dibandingkan dengan jenis kesenian Betawi lainnya seperti Musik Rebana, Kasidahan, Lenong, Tari Topeng Betawi dan sejenisnya, boleh dikatakan Tanjidor agak ketingalan. Mat Sani, putra Betawi kelahiran Kramat Pulogundul, dibelakang bioskop Rivoli, Jakarta Pusat, mengatakan, “Anak cucu keturunan Betawi kagak pada mau ngopenin Tanjidor. Maunya pada ngedangdut melulu. Barangkali itu salah satunye yang bikin Tanjidor kagak mau cepat berkembang”, Tapi barangkali juga karena jaman udah banyak berubah, beginilah jadinya.

“Di kampung saya dulu, ada perkumpulan orkes Tanjidor, Lenong dan Ondel-Ondel Bang Rebo, di Gang Piin Kramat Pulo. Tapi sekarang mah dangdut aje yang digede-gedein”, tambahnya. “Tapi nggak tahulah, kemungkinan di wilayah lain masih banyak perkumpulan Tanjidor. Denger-denger sih Tanjidor masih berbunyi. Kebanyakan di pinggiran Jakarta, misalnya di Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, di wilayah Bogor. Lainnya di Tanggerang, dan Bekasi”. Katanya.

Sejak dulu memang, Tanjidor tidak banyak memberi janji sehingga pendukungnya dari tahun ke tahun kian menurun. Selain banyak yang sudah meninggal, pendukungnya sekarang sudah pada uzur. Untuk singgah menjadi seniman orkes Tanjidor memang harus punya bakat di bidang musik modern atau ketrampilan itulah yang membuat orang senang menekuni hobinya.

Dari dulu seniman Tanjidor tidak melulu mengandalkan hidup dari musik yang digeluti. Melainkan dari hasil bertani, buruh atau pedagang kecil-kecilan. Bermain musik hanya sebagai sambilan Selain menghibur diri untuk mencari kepuasan batin. Sebab lain kenapa Tanjidor tidak bisa melesat seperti jenis kesenian Betawi lainnya kemungkinan karena fungsi ekonmi Tanjidor lemah. Hidup orkes ini tergantung dari saweran dari penonton. Atau karena ditanggap untuk meramaikan hajatan, sunatan, kawinan dan sebagainya.

0 Response to "Tanjidor, Jazznya Betawi"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar