Imlek, Sejarah dan Akulturasi Budaya

Aslinya Imlek atau Sin Tjia adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi.

Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.

Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Cina, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, hidangan yang dipilih biasanya hidangan yang mempunyai arti “kemakmuran,” “panjang umur,” “keselamatan,” atau “kebahagiaan,” dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.

Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada biasanya. Diharapkan, kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis. Di samping itu dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.

Kedua belas hidangan itu lalu disusun di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. Pemilik rumah lalu berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan. Ada juga makanan yang dihindari dan tidak dihidangkan, misalnya bubur. Bubur tidak dihidangkan karena makanan ini melambangkan kemiskinan.

Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa. Pada waktu ini disediakan camilan khas Imlek berupa kuaci, kacang, dan permen.

Pada waktu Imlek, makanan yang tidak boleh dilupakan adalah lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan kolang-kaling. Agar pikiran menjadi jernih, disediakan agar-agar yang dicetak seperti bintang sebagai simbol kehidupan yang terang. Tujuh hari sesudah Imlek dilakukan persembahyangan kepada Sang Pencipta. Tujuannya adalah sujud kepada-Nya dan memohon kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru dimasuki.

Lima belas hari sesudah Imlek dilakukan sebuah perayaan yang disebut dengan Cap Go Meh. Masyarakat keturunan Cina di Semarang merayakannya dengan menyuguhkan lontong Cap Go Meh yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang. Sementara di Jakarta, menunya adalah lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai. Pada waktu perayaan Imlek juga dirayakan berbagai macam keramaian yang menyuguhkan atraksi barongsai dan kembang api.

Sejarah Imlek di Indonesia
Dalam sejarah mencacat bahwa penanggalan Imlek dimulai tahun 2637 Sebelum Masehi pada masa pemerintahan Kaisar Oet Tee/Huang Ti (2698 – 2598 SM). Penanggalan Imlek sebutan asalnya adalah He Lek, yakni penanggalan Dinasti Ke/His (2205 – 1766 SM), dimana pertama kali penetapan tahun baru Dinasti He, yakni akhir musim dingin.

Pada kehidupan jaman dahulu, penetapan saat tahun baru memegang peranan yang amat penting, karena penetapan tersebut menjadi pedoman bagi semua orang untuk mempersiapkan segala pekerjaan untuk tahun yang berjalan. Apa lagi untuk para petani akan mulai bercocok tanam pada saat akhir musim dingin dan memasuki musim semi. Penanggalan ini sangat cocok bagi petani karena perhitungan musim, peredaran matahari, dan uraian penjelasan mengenai iklim. Model penanggalan tersebut secara populer disebut Long Lek (penanggalan petani).

Perjalanan panjang perayaan Imlek di Indonesia seiring dengan perjalanan orang Cina ke Indonesia. Dengan telah dibukanya kran Reformasi di tahun 1998, perayaan Imlek yang tadinya dilarang oleh Pemerintah, kini justru dijadikan hari libur nasional. Tahun baru Imlek yang telah dinyatakan hari libur nasional, memberikan kebebasan untuk dirayakan secara terbuka, bahkan menjadi bagian perayaan bagi publik.

Kini seakan akan budaya yang berasal dari daratan Cina telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia. Boleh dikatakan bahwa, kini Indonesia bagaikan ibarat taman bunga yang bertambah indah dan terus berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa pluralisme menjadi hidup yang diekspresikan dengan identitas budaya, sekaligus memberikan petunjuk bahwa perbedaan itu ternyata indah. (deni:berbagai sumber)

0 Response to "Imlek, Sejarah dan Akulturasi Budaya"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar