Kawah Ijen yang terletak di Pegunungan Ijen, di Jawa Timur, tepatnya di perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso. Kawah ini berada di ketinggian 2.350 meter di atas permukaan laut.
Ia terlihat berbeda, danau di dasar kawahnya berwarna hijau pekat, dengan lereng batuan melingkar di seluruh sisinya. Kawah ini juga mempunyai kubah belerang yang masih aktif dan menjadi tumpuan hidup sebagian orang di sini.
Sebutan Kawah Ijen konon berasal dari kata dalam bahasa Jawa, Ijen, yang berarti sendirian. Kawah ini memang satu-satunya kawah yang ada di deretan tiga gunung, yakni Raung, Merapi dan Ijen. Kawasan Ijen sebenarnya adalah kawasan cagar alam yang tertutup bagi siapapun yang memasukinya. Namun sejak tahun 1981, sebagian kawasan ini, seluas 90-an hektar ditetapkan sebagai kawasan wisata.
Untuk mencapai lokasi Ijen ini bisa ditempuh melalui 2 jalur, yakni lereng barat Bondowoso, atau melalui lereng sebelah timurnya Banyuwangi. Aksesnya semakin mudah dengan adanya jalan aspal.
Pos terakhir menuju kawah adalah Pal Tuding yang berada pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Dari pos ini harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalur pendakian sepanjang 3 kilometer. Mata tak akan lepas melihat hutan cemara gunung dan kawasan edelweiss yang sangat eksotis.
Sepanjang 2 jam perjalanan dengan jalan santai ini, kerap berpapasannya dengan para pengangkut belerang. Mereka memikul belerang seberat 60 sampai 100 kilogram, seolah berlari menuruni gunung. Seakan tak mengenal lelah, mereka memanggul beban berat itu, apalagi tanpa disertai pelindung badan yang cukup.
Tiba di puncak, Kawah Ijen akan menyambut. Kawah ini akan terlihat jelas di pagi hari, karena kabut atau asap belerang belum menutupi pandangan. Dinginnya angin di pagi hari juga tidak terlalu menganggu. Suhu di puncak Ijen bisa berada di bawah 4 derajat Celcius pada dini hari, sementara pagi dan siang hari sekitar 10 hingga 16 derajat Celcius.
Kawah Ijen yang terlihat jelas berwarna hijau, seakan menjaga obat lelah perjalanan ini. Keindahannya membuat orang lupa akan perjalanan yang baru saja ditempuh. Sebagian orang bahkan ingin melihat lebih dekat lagi dengan menuruni tebing kawah.
Tantangan alam harus siap dilawan, yakni asap belerang yang pedih di mata dan membuat dada sesak. Asap belerang inilah yang setiap hari diakrabi oleh mereka yang terjun di kegiatan penambangan belerang di kawasan Ijen. Mereka yang terlibat dalam kegiatan penambangan belerang di Kawah Ijen adalah penduduk sejumlah desa di sekitar lereng gunung ini. Mereka biasanya adalah para lelaki dewasa yang kuat dan berani. Karena kekuatan dan keberanian sangat diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan ini.
Lebih dari 200 penduduk lereng Gunung Ijen memilih menjadi pengangkut belerang. Mereka mengangkut bebatuan belerang seberat 60 sampai 100 kilogram, dari puncak hingga ke bawah.
Pekerja Tambang
Sebelum matahari terbit, tampak seorang lelaki warga desa sekitar, berangkat dari rumahnya dengan perbekalan seadanya. Lelaki ini siap bergelut dengan kesehariannya sebagai pengangkut belerang.
Sepasang keranjang atau karung yang diikatkan pada pikulan, dan sebuah obor untuk menerangi jalan setapak menuju puncak, adalah peralatan yang setia menemaninya. Pakaiannya hanyalah baju dengan celana yang biasa digunakan sehari-hari, kadang ia melilitkan sarung atau baju tebal yang sebenarnya tidak begitu menghangatkan.
Dengan segala kesederhanaan ini para penambang yang kebanyakan telah lebih dari 20 tahun bekerja, siap melawan angin dan dinginnya puncak Gunung Ijen yang bersuhu di bawah 4 derajat Celcius. Belerang yang diambil di sini, berada di dasar kawah, sejejar dengan permukaan danau, sedalam 300 meter dari puncak. Belerang yang dikeluarkan di kawah ini harus dialirkan. Bila tidak akan menyumbat dan berujung pada meletusnya gunung ini.
Pipa-pipa ini mengalirkan belerang yang panasnya bisa mencapai 600 derajat Celcius. Belerang membara berwarna kuning kemerahan ini akan mengalir ke tempat penampungan. Lelehan ini keluar dan segera membeku karena udara dingin, terbentuklah padatan belerang yang berwarna kuning terang. Terkadang belerang cair yang panas menyala tak terkendali. Biasanya segera disiram air untuk mencegah reaksi piroporik berantai. Inilah yang sejak puluhan tahun lalu dimanfaatkan sebagai belerang. Batuan belerang dipotong dengan linggis.
Untuk turun atau naik ke dan dari kawah hanya ada jalan setapak yang sangat curam di antara tebing terjal dan batu-batu yang tidak stabil. Sehingga kehati-hatian amat diperhatikan. Para pekerja di kegiatan penambangan belerang ini tidak berani mengambil resiko di saat hujan turun. Mereka segara meninggalkan pekerjaannya.
Dalam satu hari para pengangkut belerang ini bisa naik dan turun tiga atau empat kali, bahkan lebih, dengan membawa beban belerang. Berat beban yang dipikul tak tanggung-tanggung, antara 60 sampai 100 kilogram. Bahkan bagi mereka yang kuat dan masih muda, beban seberat 120 kilogram bisa dipikul sambil menanjak dan menuruni tebing yang mempunyai kecuraman sekitar 60 derajat.
Untuk turun mereka harus menempuh jarak sejauh 3 kilometer. Jarak yang sama pula bila ingin naik kembali ke puncak mengambil belerang. Sebuah pekerjaan yang tidak ringan. Apalagi sebagian dari pengangkut belerang ini tidak menggunakan alas kaki. Selain medan yang begitu curam, para pengangkut belerang ini juga harus menaklukkan hembusan asap kawah yang mengandung belerang.
Asap ini membuat mata pedih
Tidak hanya itu asap belerang yang berwarna kekuningan ini sangat menyesakkan nafas. Asap yang begitu pekat dan panas seolah menjadi menu wajib bagi para pekerja di kegiatan penambangan belerang di Kawah Ijen ini. Bagi yang tidak terbiasa, bila menghirup asap yang mengandung belerang ini terkadang membuat pingsan. Sementara buat para pekerja ini, mereka tampak sehat-sehat saja, meskipun tanpa masker khusus, kecuali selembar kain yang dibasahi air tawar.
Alam kawasan Ijen seolah telah ditaklukkan oleh para pekerja di kegiatan penambangan belerang ini. Jerih payah mereka, segera terhapuskan dengan upah yang mereka terima. Buat para pengangkut belerang, sesampainya di bawah, belerang yang mereka bawa, langsung ditimbang. Dan mereka menerima sejumlah uang.
Berapapun yang mereka dapat hari itu, itulah berkah buat mereka. Cukup tidak cukup, itu amat relatif. Namun mereka tetap menginginkan perubahan, penyesuaian upah angkut. Apalagi kondisi alam yang demikian sulit, tak memungkinkan mereka bekerja penuh 7 hari sepekan. Mereka hanya mampu 5 hari saja.
Kawah Ijen, paling tidak telah membuat hidup penduduk di sekitarnya yang bekerja di penambangan, lebih tenteram. Seperti harapan mereka saat menjaga dan melindungi tenteramnya harmoni alam di sepanjang lereng Gunung Ijen.
Dengan terus menerus mengambil tumpukan belerang di kubah sulfatara, mereka sebenarnya mengurangi kemungkinan erupsi belerang yang lebih besar. Erupsi yang bisa menjadi ledakan gunung yang lebih membahayakan seluruh pemukiman di bawahnya. Itulah harmoni yang dijaga.
Sebutan Kawah Ijen konon berasal dari kata dalam bahasa Jawa, Ijen, yang berarti sendirian. Kawah ini memang satu-satunya kawah yang ada di deretan tiga gunung, yakni Raung, Merapi dan Ijen. Kawasan Ijen sebenarnya adalah kawasan cagar alam yang tertutup bagi siapapun yang memasukinya. Namun sejak tahun 1981, sebagian kawasan ini, seluas 90-an hektar ditetapkan sebagai kawasan wisata.
Untuk mencapai lokasi Ijen ini bisa ditempuh melalui 2 jalur, yakni lereng barat Bondowoso, atau melalui lereng sebelah timurnya Banyuwangi. Aksesnya semakin mudah dengan adanya jalan aspal.
Pos terakhir menuju kawah adalah Pal Tuding yang berada pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Dari pos ini harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalur pendakian sepanjang 3 kilometer. Mata tak akan lepas melihat hutan cemara gunung dan kawasan edelweiss yang sangat eksotis.
Sepanjang 2 jam perjalanan dengan jalan santai ini, kerap berpapasannya dengan para pengangkut belerang. Mereka memikul belerang seberat 60 sampai 100 kilogram, seolah berlari menuruni gunung. Seakan tak mengenal lelah, mereka memanggul beban berat itu, apalagi tanpa disertai pelindung badan yang cukup.
Tiba di puncak, Kawah Ijen akan menyambut. Kawah ini akan terlihat jelas di pagi hari, karena kabut atau asap belerang belum menutupi pandangan. Dinginnya angin di pagi hari juga tidak terlalu menganggu. Suhu di puncak Ijen bisa berada di bawah 4 derajat Celcius pada dini hari, sementara pagi dan siang hari sekitar 10 hingga 16 derajat Celcius.
Kawah Ijen yang terlihat jelas berwarna hijau, seakan menjaga obat lelah perjalanan ini. Keindahannya membuat orang lupa akan perjalanan yang baru saja ditempuh. Sebagian orang bahkan ingin melihat lebih dekat lagi dengan menuruni tebing kawah.
Tantangan alam harus siap dilawan, yakni asap belerang yang pedih di mata dan membuat dada sesak. Asap belerang inilah yang setiap hari diakrabi oleh mereka yang terjun di kegiatan penambangan belerang di kawasan Ijen. Mereka yang terlibat dalam kegiatan penambangan belerang di Kawah Ijen adalah penduduk sejumlah desa di sekitar lereng gunung ini. Mereka biasanya adalah para lelaki dewasa yang kuat dan berani. Karena kekuatan dan keberanian sangat diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan ini.
Lebih dari 200 penduduk lereng Gunung Ijen memilih menjadi pengangkut belerang. Mereka mengangkut bebatuan belerang seberat 60 sampai 100 kilogram, dari puncak hingga ke bawah.
Pekerja Tambang
Sebelum matahari terbit, tampak seorang lelaki warga desa sekitar, berangkat dari rumahnya dengan perbekalan seadanya. Lelaki ini siap bergelut dengan kesehariannya sebagai pengangkut belerang.
Sepasang keranjang atau karung yang diikatkan pada pikulan, dan sebuah obor untuk menerangi jalan setapak menuju puncak, adalah peralatan yang setia menemaninya. Pakaiannya hanyalah baju dengan celana yang biasa digunakan sehari-hari, kadang ia melilitkan sarung atau baju tebal yang sebenarnya tidak begitu menghangatkan.
Dengan segala kesederhanaan ini para penambang yang kebanyakan telah lebih dari 20 tahun bekerja, siap melawan angin dan dinginnya puncak Gunung Ijen yang bersuhu di bawah 4 derajat Celcius. Belerang yang diambil di sini, berada di dasar kawah, sejejar dengan permukaan danau, sedalam 300 meter dari puncak. Belerang yang dikeluarkan di kawah ini harus dialirkan. Bila tidak akan menyumbat dan berujung pada meletusnya gunung ini.
Pipa-pipa ini mengalirkan belerang yang panasnya bisa mencapai 600 derajat Celcius. Belerang membara berwarna kuning kemerahan ini akan mengalir ke tempat penampungan. Lelehan ini keluar dan segera membeku karena udara dingin, terbentuklah padatan belerang yang berwarna kuning terang. Terkadang belerang cair yang panas menyala tak terkendali. Biasanya segera disiram air untuk mencegah reaksi piroporik berantai. Inilah yang sejak puluhan tahun lalu dimanfaatkan sebagai belerang. Batuan belerang dipotong dengan linggis.
Untuk turun atau naik ke dan dari kawah hanya ada jalan setapak yang sangat curam di antara tebing terjal dan batu-batu yang tidak stabil. Sehingga kehati-hatian amat diperhatikan. Para pekerja di kegiatan penambangan belerang ini tidak berani mengambil resiko di saat hujan turun. Mereka segara meninggalkan pekerjaannya.
Dalam satu hari para pengangkut belerang ini bisa naik dan turun tiga atau empat kali, bahkan lebih, dengan membawa beban belerang. Berat beban yang dipikul tak tanggung-tanggung, antara 60 sampai 100 kilogram. Bahkan bagi mereka yang kuat dan masih muda, beban seberat 120 kilogram bisa dipikul sambil menanjak dan menuruni tebing yang mempunyai kecuraman sekitar 60 derajat.
Untuk turun mereka harus menempuh jarak sejauh 3 kilometer. Jarak yang sama pula bila ingin naik kembali ke puncak mengambil belerang. Sebuah pekerjaan yang tidak ringan. Apalagi sebagian dari pengangkut belerang ini tidak menggunakan alas kaki. Selain medan yang begitu curam, para pengangkut belerang ini juga harus menaklukkan hembusan asap kawah yang mengandung belerang.
Asap ini membuat mata pedih
Tidak hanya itu asap belerang yang berwarna kekuningan ini sangat menyesakkan nafas. Asap yang begitu pekat dan panas seolah menjadi menu wajib bagi para pekerja di kegiatan penambangan belerang di Kawah Ijen ini. Bagi yang tidak terbiasa, bila menghirup asap yang mengandung belerang ini terkadang membuat pingsan. Sementara buat para pekerja ini, mereka tampak sehat-sehat saja, meskipun tanpa masker khusus, kecuali selembar kain yang dibasahi air tawar.
Alam kawasan Ijen seolah telah ditaklukkan oleh para pekerja di kegiatan penambangan belerang ini. Jerih payah mereka, segera terhapuskan dengan upah yang mereka terima. Buat para pengangkut belerang, sesampainya di bawah, belerang yang mereka bawa, langsung ditimbang. Dan mereka menerima sejumlah uang.
Berapapun yang mereka dapat hari itu, itulah berkah buat mereka. Cukup tidak cukup, itu amat relatif. Namun mereka tetap menginginkan perubahan, penyesuaian upah angkut. Apalagi kondisi alam yang demikian sulit, tak memungkinkan mereka bekerja penuh 7 hari sepekan. Mereka hanya mampu 5 hari saja.
Kawah Ijen, paling tidak telah membuat hidup penduduk di sekitarnya yang bekerja di penambangan, lebih tenteram. Seperti harapan mereka saat menjaga dan melindungi tenteramnya harmoni alam di sepanjang lereng Gunung Ijen.
Dengan terus menerus mengambil tumpukan belerang di kubah sulfatara, mereka sebenarnya mengurangi kemungkinan erupsi belerang yang lebih besar. Erupsi yang bisa menjadi ledakan gunung yang lebih membahayakan seluruh pemukiman di bawahnya. Itulah harmoni yang dijaga.
0 Response to "Ijen, Sebuah Harmoni Antara Alam dan Manusia"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar