Alor, Menjanjikan Surga Wisata Budaya dan Tradisi

Mengunjungi Alor ibarat kembali ke masa lalu. Semuanya terkesan unik dan antik. Apa yang dijumpai di Alor membawa kesan tersendiri dan mandalam. Indonesia tentunya harus berbangga karena memiliki Alor yang begitu indah alamnya dan kaya akan budaya serta adat tradisi. Masyarakatnyapun masih menjunjung kearifan lokal warisan nenek moyang mereka.

Alor merupakan salah satu dari 16 kabupaten/kota di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Terletak di antara Laut Flores (batas utara), Selat Ombay (batas selatan), Selat Wetar (batas timur) dan Selat Lomblen (batas barat). Negeri 15 Pulau ini memiliki luas wilayah, daratan 2.864,64 kilometer persegi (Km2) dan perairan 10.973,62 Km2.

Kalau selama ini orang menganggap Alor sebagai daerah terisolasi, mungkin karena akses transportasinya yang sulit, terutama dari Kupang, ibu kota Propinsi NTT. Tapi itu dulu. Sekarang akses transportasi ke Alor sudah semakin lancar.

Mengunjungai Alor saat ini tidaklah sulit, sebab pesawat yang menuju Alor yang tadinya dari Kupang-Alor hanya 3 kali dalam seminggu kini berkembang menjadi menjadi 5 kali dalam seminggu. Bahkan salahsatu maskapai penerbangan yang melayani rute ke Alor terkoneksi langsung dari Surabaya dan Jakarta. Bagi yang suka menempuh perjalanan lewat air ada layanan kapal fery dari Kupang-Alor 2 kali dalam seminggu.


Saat tiba di bandara Mali, Alor kita akan disuguhkan oleh tari penyambutan. Tarian tersebut merupakan kekayaan budaya yang dimiliki Alor. Dalam tarian tersebut wistawan yang datang akan diberikan kain selempang/selendang yang ditenun oleh perempuan-perempuan Alor. Kerajinan tenun bagi perempuan Alor adalah sebuah simbol eksistensi kedewasaannya. Makanya di Alor, perempuan dan tenun seperti dua sisi mata uang, satu sama lain tidak bisa dipisahkan.


Tidak jauh dari bandara Mali, obyek wisata yang indah dan mempesona sudah menanti, pantai Mali. Pantai yang masih asri dan alami layak dijadikan persinggahan pertama perjalanan wisata. Pantai pasir putih dengan air laut tenang ini mampu mengendurkan otot-otot yang tegang sehabis perjalanan yang melelahkan apalagi menikmantinya sambil makan jagung rebus atau bakar khas Alor. Selain itu, wisatawan juga akan disuguhkan pertunjukan seni tradisional seperti tari Lego-lego.


Dalam tari Lego-lego, wisatawan diajak menari bersama sambil mengelilingan sebuah tambur yang digendang. Bagi masyrakat Alot tari Lego-lego juga melambangkan kekuatan, persatuan, dan persaudaraan. Sebuah pengalam yang sulit untuk dilupakan.


Kampung Tradisonal

Hal menarik lainya yang terdapat di Alor adalah keberadaan kampung-kampung adat atau tradisional. Kampung tradisional tersebut dapat menjadi tujuan wisata alternatif, khususnya wisata budaya. Wisata budaya ini cukup dikenal oleh wisatawan mancanegara (Wisman). Ini setidak-tidaknya terukur dari banyaknya Wisman yang datang ke Alor dan menanyakan keberadaan wisata budaya Alor.

Sebut saja, perkampungan tradisional Takpala di Kecamatan Alor Tengah Utara. Perkampungan ini memiliki perumahan dan tradisi adat yang khas, seperti upacara belanga moko, pernikahan tradisional dan tarian lego-lego. Begitupun perkampungan tradisional Mombang, sekitar tujuh kilometer dari Kota Kalabahi, Kabupaten Alor. Kampung ini juga memiliki tradisi spesifik dalam cara membangun rumah, tari-tarian, sistem pernikahan ditambah dengan kondisi alam yang indah.

Wisata budaya lainnya dapat dinikmati di Kampung tradisional Bampalola, Kecamatan Alor Barat Laut (ABAL). Di kampung ini terdapat rumah adat laka tuil dengan berbagai ornamen upacara makan baru dan berbagai atraksi budaya. Begitu pun di Desa Alor Kecil dan Alor Besar di Kacamatan ABAL. Di kampung ini terdapat sunatan adat, pernikahan adat, tarian dan lego-lego. Di sana ada juga Al Quran tua yang terbuat dari kulit kayu, musik tradisional dan home stay. Pada waktu tertentu di kampung ini terdapat arus dingin, yang mengakibatkan banyak ikan naik kepermukaan air.

Ada juga kampung tardisional Lembur. Di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, tepatnya di sebuah bukit

dengan ketinggian kira-kira 450 meter dari permukaan laut, di areal seluas 5 hektare, terdapat sebuah mezbah lama peninggalan leluhur Lembur. Untuk menghidupkan kembali perkampungan yang memiliki tradisi ritual tinggi ini, belum lama ini masyarakat setempat melangsungkan acara-acara adat yang cukup menarik perhatian turis mancanegara. Di lokasi mesbah Lembur itu mereka membangun kembali sebuah rumah gudang (rumah adat orang Alor) dan sebuah home stay (vila). Di dalam rumah ini dipajang beraneka hasil kerajinan masyarakat.

Dari atas bukit itu pula, para pengunjung juga akan menikmati pemandangan panorama alam dan laut Teluk Kenari yang indah, sambil mencicipi makanan tradisional yang disiapkan oleh kelompok Sadar Wisata Budaya Lembur.

Moko, dari Simbol Status Sosial hingga Alat Musik

Selain Pulau Kenari, Kabupaten Alor juga dikenal sebagai Pulau Seribu Moko. Moko adalah penamaan masyarakat Alor terhadap Nekara yang tebuat dari perunggu. Konon Moko sudah ada sejak abad 14 Masehi. Sebenarnya seberapa penting arti Moko bagi masyarakat Alor ?

Secara fisik, Moko berbentuk seperti drum dengan diameter 40cm-60cm dan tinggi 80cm-100cm. Benda ini terbuat dari perunggu atau logam. Di sekujur tubuhnya terdapat hiasan tradisional yang disinyalir menyerupai motof hiasan di zaman kebudayaan Dongson, Vietnam utara

Orang Alor bisa membedakan dengan sangat baik setiap jenis Moko berdasarkan ragam hias, bentuk dan ukurannya. Secara umum Moka dapat dibedakan menjadi dua. Moko ynag diproduksi sebelum ada pengaruh Hindu di Indonesia dan Moko yang diproduksi sesudah ada pengaruh Hindu.

Moko adalah benda masa silam yang lahir dari tangan terampil nenek moyang. Di zamannya, ia berfungsi sebagai alat musik tradisional yang digunakan pada waktu upacara adat dan acara kesenian lainnya. Selain itu Moko juga dipakai alat tukar-menukar barang. Dan yang tertinggi, Moko juga digunakan sebagai Mas Kawin untuk meminang calon mempelai perempuan serta sebagai symbol status social masyarakat ALor.

Seorang peneliti Asing, Cora Dubois, menjelaskan empat fungsi Moko. Pertama, Moko sebagai simbol status sosial. Pemilki jumlah dan jenis Moko tertentu menunjukan status sosial sesorang dalam masyarakat. Misalnya Moko Malei Tana atau Moko Itkira. Kepemilikan Moko ini menunjukan status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan oarng yang memiliki Moko ini dalam jumlah tertentu akan cukup berpengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional.

Kedua, Moko sebagai peralatan belis atau mas kawin. Seorang pria yang hendak menikah harus menyerahkan sejumlah Moko kepada keluarga perempuan calon isteri. Kaum bangsawan menggunakan Moko Malei Tana sebagai mas kawin. Orang biasa menggunakan Moko Malei Utangpei yang disebut delapan bobak.

Ketiga, Moko sebagai alat tukar ekonomi. Sejak dahulu orang Alor mengenal Moko sebagai alat tukar seperti uang. Dalam hal ini Moko dapat ditukar dengan barang tertentu secara barter. Hal inilah yang kemudian menyebabkan inflasi pada jaman pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko.

Keempat, Moko sebagai alat musik. Moko dapat menggantikan fungsi tambur yang terbuat dari kayu dan kulit hewan Alat musik gong dan Moko biasanya dimainkan untuk pengiring tari-tarian. Dalam perspektif orang Alor, gong yang berbentuk plat dalam posisi telungkup adalah lambang kewanitaan. Sedangkan Moko berbentuk bulat dalam posisi berdiri adalah lambang kejantanan

0 Response to "Alor, Menjanjikan Surga Wisata Budaya dan Tradisi"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar