Mang Nanang, Menjadi Tukang Sol Sepatu Sampai Akhir Hayat


Namanya Mang Nanang, pria asli Garut, Jawa Barat ini sehari-hari berkeliling kampung mencari sepatu atau sandal yang sobek atau yang alas ”mangap” karena lemnya sudah tidak rekat lagi. Kalau ada yang sepatu atau sandalnya menglami kerusakan seperti di atas datanglah ke Mang Nanang pasti sepatu atau sandal anda bisa dipakai kembali.

Wajah Mang Nanang tampak sumringah, ketika siang itu, saya memanggilnya untuk memperbaiki kedua pasang sepatu saya. Pria berumur 47 tahun itu lantas mengeluarkan peralatan sol sepatu dari kotak kayu yang dipikulnya dan mulailah ia bekerja. Hanya dalam hitungan beberapa menit, benang-benang nilon sudah merekat kuat di dua pasang sepatuku.

Pekerjaan itulah yang setiap hari dijalani Mang Nanang memasang sol sepatu, Mang Nanang juga ahli menjahit dan memperbaiki sepatu rusak. Setiap hari Mang Nanang berkeliling dengan memikul kotak kayu yang berisi peralatan reparasi sepatu.

Biasanya Mang Nanag keliling dari tempat kontrakannya di daerah Alexindo gang H. Tekel, ke perumahan Harapan Jaya, Titian Indah, Kampung Rawa Bambu, Perumahan SBS, hinggs Pondok Ungu, dan kembali ke kontrakannya saat surya mulai tenggelam. "Sol sepatu." menjadi teriakan khas Mang Nanang ketika mengelilingi kampung-kampung di Bekasi. Ya, profesi Mang Nanang adalah tukang sol sepatu alias tukang reparasi sepatu keliling.

Profesi ini dilakoni Mang Nanang sejak tahun 1982 atau sudah 26 tahun lamanya. Tentunya bukan waktu yang sebentar untuk profesi seperti itu . Menurut Mang Nanang, menjadi tukan sol sepatu pada awalnya adalah sebuah pilihan yang terpaksa karena dikampungnya di daerah Garut, mencari uang sangatlah sulit. Apalagi Mang Nanang tidak memiliki sawah atau ladang untuk ditanami. Jadi untuk mencari nafkah buat keluarganya Mang Nanang harus menjadi kuli macul di sawah atau di ladang milik orang lain.

Keadaan semakin susah di kampungnya ketika terjadi letusan gunung Galunggung ”Pada awalnya saya cuma menjadi buruh tani di sawah milik orang lain, sampai pada akhirnya terjadi letusan gunung Galunggung pada tahun 1982. Akibat letusan tersebut sawah dan ladang di kampung saya semuanya tertutup debu, dan saya tidak bisa menjadi buruh tani lagi,” kenang Mang Nanang.

Karena sawah dan ladang tertutupi debu, lanjut Mang Nanang saya akhirnya terpaksa mengadu nasib ke Bekasi untuk menjadi tukang sol sepatu. Keahlian menjahit atau mereparasi sepatu di peroleh Mang Nanang dari kawan sekapungnya. ”Untungnya saya sebelum ke Bekasi pernah belajar ngesol sepatu di kampung dan pernah merantau ke Jakarta pada tahun 1974, jadi saya punya pengalaman merantau sekaligus mempunyai keahlian ngesol sepatu,” kata Mang Nanang.

Meskipun pendapatan menjadi tukang sol sepatu tidaklah seberapa, menurut Mang Nanang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan menjadi buruh tani di kampung. Pendapat Mang Nanang dari sol sepatu perhari bisa mencapai Rp 25-35 ribu, sedangkan bayaran menjadi buruh tani saat ini di kampung hanya Rp 15.000 perhari. Tapi meskipun begitu, menurut Mang Nanang lebih baik kerja di kampung karena di kampung kalau hanya untuk makan sehari-hari relitif mudah.

Persoalannya sekarang adalah di kampung semakin sulit mencari pekerjaan, sedangkan kebutuhan hidup tidak hanya makan, perlu biaya untuk pendidikan anak-anak, biaya kesehatan, dan biaya kebutuhan lainnya. ”saya ikhlas jauh dari kampung asalkan keluarga saya bisa hidup dengan layak disana,” ujar Mang Nanang.

Hanya Sementara

Semula niat Mang Nanang menjadi tukang sol sepatu di Bekasi hanya sementara, akan tetapi lagi-lagi kondisi memaksa Mang Nanang menjadi tukang sol sepatu hingga saat ini. Mang Nanang harus rela meninggalkan istri dan ketiga anaknya di kampung demi mencari nafkah buat keluarganya. ”Saya tidak tahu sampai kapan saya akan menjadi tukang sol sepatu keliling di Bekasi ini, mungkin sampai akhir hayat saya tetap menjadi tukang sol sepatu,”ungkapnya lirih.

Pasalnya, lanjut Mang Nanang dirinya telah mencoba berbagai usaha, mulai jadi buruh tani, jualan sandal, jualan baju, buku-buku, hingga menjadi tukan service alat-alat elektronik, namun usaha tersebut tidak bertahan lama dan selalu mengalami kegagalan, hanya menjadi tukang sol sepatu yang relatif bertahan lama, katanya.

”Pada awal-awal merantau ke Bekasi untuk menjadi tukang sol sepatu setiap musim tanam dan panen saya selalu pulang kampung untuk menjadi buruh tani di kampung, tapi kalau musim paceklik atau musim kering datang saya pergi ke Bekasi untuk menjadi tukang sol sepatu,” jelas Mang Nanang.

Menurut Mang Nanang, ketika di kampung, sawah atau ladang mulai kering dan air menjadi barang yang langka seperti saat ini maka saat itu warga kampung menyebar ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bekasi, Bandung atau kota-kota lainnya bahkan ada yang sampai ke Pekanbaru dan Papua untuk mengadu nasib dan peruntungan yang lebih baik.

Namun, beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah era reformasi Mang Nanang tidak pernah lagi jadi buruh tani di kampung meskipun di kampung sedang musim tanam dan musim panen karena uang mencari uang semakin sulit dikampung sedangkan kebutuhan semakin besar.

Di Bekasi, Mang Nanang tinggal dengan teman-teman sekampungnya dengan mengontrak sebuah kamar. Tiap hari Mang Nanang hanya membayar Rp 1.500 untuk sekedar istirahat di kontrakannya pada malam hari. Tempat tidurnya juga seadanya, cukup dengan alas tikar. ”Kalau saya ngontak rumah yang mahal, nanti yang tersisa buat anak dan istri saya apa?” ungkap Mang Nanang.

Menurut Mang Nanang, dirinya harus pandai-pandai berhemat agar uang penghasilannya dari usaha menjadi tukang sol sepatu cukup buat menghidupi keluarganya di kampung. Untuk menyiasati itu, Mang Nanang pulang kampung hanya sebulan sekali, itu pun sekalian untuk belanja kebutuhan usahanya selama sebulan.

”Kalau saya belanja kebutuhan usaha disini, keuntungan saya kecil tapi kalau belanjanya di kampung keuntungannya lumayan besar karena dikampung belanja benang sol relatif murah bila dibandingkan belanja di Jakarta. Selain itu saya juga bisa sekalian jenguk keluarga,” ungkap Mang Nanang.

Walaupun pada awalnya karena terpaksa menjadi tukang sol sepatu, namun Mang Nanang tidak pernah menyesali hidup yang dijalaninya, ia pasrah sambil terus berikhtiar. Mang Nanang yakin bahwa rezeki Allah yang mengatur dan dia tetap berkayinan bahwa pasti selalu ada rezeki buat dirinya dan keluarganya di kampung.

Di muat di Majalah KOMITE Edisi 2 Agustus 2008

0 Response to "Mang Nanang, Menjadi Tukang Sol Sepatu Sampai Akhir Hayat"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar