Haji Yang Mencerahkan

Judul Buku : Haji, Transformasi Profetik Menuju Revolusi Mental

Penulis     : Dr. H. Ali Rokhmad, M.Pd dan Dr. H. Abdul                              Choliq, M.Ag 

Penerbit         : Media Dakwah

Tahun Terbit : Mei-2015 (cetakan pertama)

ISBN  : 978-979-8736-73-5

Halaman          : xii + 286 Halaman

Peresensi     : Deni Adam Malik

Pada hakikatnya seluruh ibadah-ibadah yang diwajibkan atas manusia oleh Allah SWT adalah sebuah sarana untuk melatih kepekaan manusia atas keadaan di lingkungan sosialnya. Seperti shalat misalnya, dalam anjuran shalat berjamaah terkandung sebuah makna tentang bagaimana sikap seorang pemimpin (imam) dan orang yang dipimpin (makmum). Begitu pun ibadah zakat dan berpuasa, di dalamnya sarat dengan kandungan moral sosial. Puasa dan zakat adalah sarana untuk melatih dan membangun kepekaan sosial kita selaku umat Muslim atas apa yang dirasakan oleh mereka yang kehidupannya kurang beruntung. Lantas timbul pertanyaan, bagaimana dengan ibadah haji? 

Seperti ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji juga adalah sebuah praktik olahraga dan olah spiritual guna menjadikan kita melek atas kenyataan sehari-hari yang kita alami di sekitar kita selama hidup. Haji merupakan ibadah yang sangat penting bagi umat Muslim sedunia. Keutamaan ibadah haji salah satunya tercermin dari sabda Rasulullah, “Sebaik-baik amal ialah; Iman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, kemudian haji mabrur.” Keberadaan haji sebagai ritual keagamaan pada akhirnya bertujuan untuk membuang sifat kebinatangan yang ada di dalam diri manusia, setelah melaksanakan haji diharapkan manusia menjadi lebih bersih dan suci. Manusia dengan mental yang baru, mental yang lebih baik lagi dari mental sebelumnya.

Sebagai perjalanan spiritual napak tilas kehidupan para nabi, ibadah haji memerlukan kesiapan mental yang melandasi niat yang tulus, ikhlas, ikhtiar, sabar, syukur dan tawakal. Maka hasil yang diperoleh haruslah seimbang dengan kesadaran mental dan perubahan sosial yang didapat, yaitu kesalehan secara individual maupun kesalehan secara sosial. Sebagai sebuah visi profetik, ibadah haji seharusnya memiliki daya dorong yang kuat untuk perubahan, terutama perubahan mental. Bahkan perubahan tersebut dapat juga membawa dampak positif terhadap komunitas. Inilah haji, sebuah visi kenabian yang diharapkan dapat membawa perubahan mental maupun perubahan sosial bangsa Indonesia (agent of change).

Buku Haji, Transformasi Profetik Menuju Revolusi Mental membahas mengenai ritual haji yang diwariskan para nabi (visi profetik) yang dapat membawa kesadaran dan perubahan umat menjadi lebih baik (insan kamil), lebih peka, lebih berintegritras, lebih profesional,  dan lebih peduli terhadap kondisi sekitarnya yang dimulai dari dalam dirinya (revolusi mental). Haji adalah ibadah warisan para nabi yang memilik dampak sekaligus hikmah yang luar biasa. Dampak haji bukan hanya dirasa oleh individu tetapi juga sosial dan hikmahnya adalah perubahan sosial yang didasarkan keimanan dan ketaqwaan. 

Di bagian ke-1 buku ini mengulas secara singkat apa itu Transformasi Profetik. Profetik memiliki makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi, yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga memiliki pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan, serta daya juang yang tangguh. Sedangkan transformasi adalah perubahan, perubahan di sini tentunya dipengaruhi atau diilhami cara Nabi SAW melakukan perubahan sosial, bukan sekedar membebaskan dari ketertindasan tetapi juga mengarahkannya.   

Bagian ke-2 buku ini menjelaskan mengenai hakikat penciptaan manusia, yaitu sebagai khalifah di bumi yang tugasnya adalah beribadah (menyembah) Allah SWT. Di antara kewajiban ibadah tersebut adalah kewajiban menjalankan ibadah haji. Pada bagian inilah asal-usul Ka'bah sebagai 'rumah Allah' tertua dikisahkan berdiri. Dikisahkan saat Nabi Adam A.S dan Ibunda Siti Hawa diusir dari surga 'Adn  mereka terpisah, lalu Allah mempertemukan mereka di padang Arafah. Melalui malaikat Jibril AS, Allah memerintahkan Nabi Adam AS membangun rumah Allah (Baitullah) yang lokasinya sekarang adalah Ka'bah. Jibril AS juga mengajarkan Nabi Adam untuk berkeliling Ka'bah (tawaf). Tawaf adalah simbol praktik ibadah yang menyenangkan bagi para malaikat kepada Allah SAW. Ritual haji kemudian diteruskan oleh Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail, dan Siti Hajar. Maka, selain, wukuf, tawaf ritual haji berkembang menjadi haji dan umroh dan terus disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pada bagian ke-3 dan ke-4 membahas terkait teknis pelaksanaan ibadah haji, dikatakan bahwa syarat wajib haji itu mampu, baik mampu secara fisik, mental, maupun financial. ketiga syarat mampu ini harus beriringan bersama. Namun demikian syarat mampu ini juga menjadi pangkal sukses atau tidaknya ibadah haji seseorang sebab setelah kata mampu ini biasanya diikuti dengan niat yang sungguh-sungguh untuk menunaikan ibadah haji karena Allah. Apabila semua disandari karena Allah maka semua yang dipersiapkan harus benar-benar bersih dan suci. Adapun di bagian ke-4 mengupas peran pemerintah dalam menyiapkan sarana dan prasarana bagi warga negara yang ingin melaksanakan haji.

Bagian ke-5 buku ini adalah substansi. Membedah secara menyeluruh makna ihram, talbiyah, tawaf, Sa'i, Tahalul, Mabid di Muzdalifah, melontar jumroh, hingga mabit di Minna. Praktik-praktik ritual tersebut tentunya sudah dicontohkan oleh nabi dan memiliki pesan yang kuat untuk sebuah perubahan mental dan perubahan sosial. Ihram misalnya, adalah sebuah simbol persamaan yang universal semua manusia dihadapan Allah. Ihram juga simbol melepaskan ego ke-aku-an. Sekat-sekat sosial antara 'aku' dan 'kamu' melebur menjadi 'kita. Warna putih pakaian ihram juga menjadi simbol kerendahan hati. Tawaf, secara simbolis bermakna ketaatan dan ketundukan hamba kepada Allah, sama halnya dengan tata surya, di mana planet-planet secara teratur mengelilingi matahari sebagai porosnya dan hal itu diyakini sebagai bentuk ritual tertua dalam beribadah menyembah Allah.  

Bagian ke-6 adalah tujuan akhir dari pelaksanaan haji, yaitu menjadi haji yang mabrur. Haji mabrur merupakan idaman setiap orang yang menunaikan ibadah haji, bukan karena besarnya pahala yang diterima tetapi juga ampunan dan ridho dari Allah. kata Mabrur dari segi harfiah berarti puncak kebaikan. Dalam konteks sosial mabrur memiliki indikator yang dapat diukur, yaitu memiliki perilaku baik, ucapan santun, peran aktif dalam kegiatan sosial keagamaan, dan peka terhadap masalah kemanusian. Pada Akhirnya haji mabrur inilah yang membawa perubahan sosial dilingkungannya. Para haji mabrur ini juga dapat berperan menjadi agen perubahan dilingkungan sekitar sehingga tujuan dari gerakan nasional revolusi mental dapat terwujud.

Di bagian ke-7 buku ini mengangkat best practices dan fail practices, atau kisah sukses dan gagal dari pelaksanaan haji. Mulai dari tukang bubur naik haji, tukang becak naik haji, tukang gorengan naik haji,  kisah tujuh kali berhaji namun tidak melihat ka'bah, hingga kisah kaki tersayat di muka ka'bah. cerita-cerita tersebut memberi pesan dan pelajaran penting tentang istimewanya ibadah haji. Dicerita-cerita tersebut kita bisa mengambil hikmah bahwa setiap perubahan besar harus diperjuangkan dengan cara yang benar dan sungguh-sungguh.

Kesimpulannya bahwa ibadah haji merupakan ibadah multidimensi, ibadah haji akan melahirkan keseimbangan amaliah yang berdimensi hubungan dengan Allah dan berhubungan dengan manusia dengan segala realitas sosial yang mengitarinya. Haji yang mabrur adalah haji yang mencerahkan yang dapat memberikan perubahan positif baik untuk individu maupun lingkungan sekitarnya. Kiranya buku ini layak dimiliki dan dibaca oleh para akademisi, santri, mahasiswa, penceramah serta birokrasi. 

0 Response to " Haji Yang Mencerahkan"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar