Kete Kesu, Pesona ‘Dark Tourism’ Berbalut Adat

Dimata wisatawan mancanegara, Tana Toraja sama terkenalnya dengan Bali. Hanya saja Pulau Bali lebih mudah dikunjungi, berlimpah fasilitas dan promosi, ditambah lagi banyak destinasi didalamnya yang menjanjikan kesenangan dan hiburan. Sedangkan Tana Toraja sebaliknya, untuk dapat mencapai kesana saja harus menempuh perjalanan darat selama 8-9 jam dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar.

Tana Toraja memiliki spesifikasi destinasi obyek dan atraksi wisata yang unik. Umumnya destinasi wisata Toraja mengarahkan pendatang untuk mengenal “Budaya Kematian” orang Toraja di kawasan pekuburan kuna serta upacara pemakaman “Rambu Solo” yang bersumber dari kepercayaan Aluk Todolok. 

Salah satu kawasan pekuburan kuno yang terkenal di Toraja adalah Kete’ Kesu. Desa wisata yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya ini terletak di Kampung Bonoran Kelurahan Tikunna Kecamatan Sanggalangi Toraja Utara atau sekitar 5 km dari pusat Kota Rantepao atau 14 km dari sebelah utara Kota Makale. Untuk bisa masuk, biasannya wisatawan dikenakan tarif Rp.5.000 untuk turis local dan Rp.10.000 bagi turis asing.

Eksotisme kawasan kete’ kesu mulai terasa saat kita menginjakkan kaki dalam kompleks rumah adat khas Toraja (Tongkonan) yang berbaris rapi berhadapan dengan lumbung padi (alang).  Bentuk Tongkonan sangat khas dan mudah dikenali sebagai rumah tradisional yang memiliki atap yang besar dan tinggi menjulang, berbentuk seperti tanduk kerbau atau perahu. Atap terbuat dari bambu belah yang disusun bertumpuk mengadopsi konsep lego. Ukiran khas Toraja menghiasi dinding Tongkonan menyatu dengan peletakan susunan tanduk kerbau yang menjadi penanda status sosial pemilik rumah.

Kawasan Kete Kesu boleh dibilang potret lengkap kehidupan masyarakat Tana Toraja yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan warisan leluhur mereka. Karena itu, tak salah jika kawasan kete’ kesu dijadikan destinasi pertama wisatawan yang berkunjung ke Tana Toraja. Rumah adat Tongkonan asli berada dalam kawasan kete’ kesu ini, yaitu Tongkonan ini memiliki pintu yang dibuka ke atas dan diduga berumur sekitar 300-an tahun. 

Dalam kompleks permukiman adat tersebut, terdapat 6 Tongkonan dan 12 lumbung padi, ditambah  tanah seremonial yang dihiasi  20 menhir dimana  salah satu Tongkonan berfungsi sebagai museum yang berisi koleksi benda adat kuno Toraja, mulai dari ukiran, senjata tajam, keramik, patung, kain dari Cina, dan bendera merah putih yang konon disebutkan merupakan bendera pertama yang dikibarkan di Toraja.

Kuburan Kuno

Sekitar 50 meter di belakang kompleks Tongkonan, pengunjung akan menyaksikan kompleks pekuburan kuno yang merupakan sisa kebudayaan megalitik yang paling lengkap di Tana Toraja. Eksotisme peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang diperkirakan berusia 500 tahun lebih bisa membuat bulu kuduk merinding.

Di dalam kubur batu yang menyerupai sampan atau perahu tersebut, tersimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang belulang manusia, ada yang berserakan di sepanjang jalan menuju tangga pegunungan batu kapur, ada pula yang diletakkan menggantung di tebing atau dalam gua. Pada bagian depan gunung batu tersebut, terdapat beberapa kuburan megah bangsawan Toraja. Di komplek  kuburan kuno tersebut terdapat dua jenis kuburan, yaitu kuburan di bukit batu dan kuburan yang berupa bangunan. Kuburan di bukit batu inilah yang sudah sangat tua.

Disisi lain, ada pemakaman kolektif dalam gua yang ditutup dengan jeruji besi untuk mencegah pencurian patung jenazah adat, lazim disebut tau-tau.  Beberapa jenazah terlihat jelas dari luar dengan harta yang dikuburkan didalamnya.  Pada beberapa sudut dinding batu  juga banyak diketemukan tau-tau  si mayat dalam satu rumpun keluarga yang dimakamkan disitu. Pembuatan tau-tau (patung jenazah) biasanya hanya keluarga bangsawan yang memiliki kesanggupan. Untuk satu patung kebangsawanan ini keluarga jenazah harus mengorbankan minimal 24 kerbau belang dan puluhan ekor babi.

Terdapat juga peti mati tradisional yang disebut erong, ada yang berbentuk perahu, kerbau dan babi dengan pahatan atau ukiran menarik.  Bentuk dan ukiran tersebut juga sebagai penanda jenis kelamin orang mati. Erong yang berbentuk kepala babi menandakan bahwa jenazahnya adalah perempuan sedangkan erong yang berbentuk perahu berarti jenazahnya laki-laki. Tumpukan erong sudah banyak yang lapuk, sehingga tampak jelas tulang-tulang jenazah berserakan di alam terbuka.  Ada juga erong berisi jenazah berjumlah lebih dari tiga, biasanya adalah patane, makam keluarga. Kesemua erong dihadapkan ke arah utara.

Kawasan Kete' Kesu juga menawarkan pemandangan alam yang indah. Terdapat bukit batu kapur yang pada dindingnya terdapat beberapa lubang berbentuk bujursangkar yang hanya ditutup dengan papan kayu yang diukir.  Kawasan batu pemakaman ini diselimuti pohon bambu yang menjulang dan setiap pengunjung harus menaiki tangga yang mengantarkan pada pemandangan erong-erong yang tergeletak diantara tangga dan dinding batu.

Eksotisme budaya megalitik yang terdapat dalam kawasan kete' kesu adalah bukti sejarah dan budaya Tana Toraja telah terbangun sejak masa ratusan tahun silam dan sayangnya, meski kawasan ini menjadikan obyek wisata andalan di Tana Toraja, tak satupun tourist guide atau penduduk setempat yang bisa memberikan penjelasan memuaskan tentang perjalanan sejarah dan budaya ini.  (DAM/dbs)

0 Response to "Kete Kesu, Pesona ‘Dark Tourism’ Berbalut Adat"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar