Tradisi Apitan, Ekspresi Rasa Syukur Diantara Dua Hari Besar

Masyarakat Jawa memang terkenal dengan beragam jenis tradisi atau budaya yang ada di dalamnya. Baik tradisi yang diwariskan oleh ajaran agama leluhur, tradisi yang lahir setelah masuknya pengaruh Islam di Jawa, maupun tradisi yang merupkan perpaduan dari ajaran leluhur dengan ajaran Islah. Salah satu tradisi tersebut adalah Apitan.

Tradisi Apitan dilaksanakan diantara dua hari raya Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Makanya tradisi tersebut disebut Apitan atau kejepit atau pada bulan Dzulko’dah dalam kalender Islam dan orang-orang Jawa biasa menyebutnya bulan Apit atau Hapit. Adapun hari pelaksanaanya pada kalender Jawa adalah Kliwon.

Apitan atau sedekah bumi dahulunya merupakan selamatan yang ditujukan dalam rangka untuk mensyukuri hasil panen dan limpahan nikmat yang Allah SWT berikan, supaya masyarakat dilingkupi keselamatan, mendapatkan panen yang melimpah dan berkah serta agar dijauhkan dari bala’.

Sedekah bumi di bulan Apit ini dilaksanakan dengan cara selamatan setiap satu tahun sekali. Namun dibeberapa daerah di Jawa Tengah, tradisi Apitan dimeriahkan dengan pertunjukan wayang yang biasanya rutin dua tahun sekali. Adapun untuk makanan yang disajikan merupakan makanan khas masyarakat setempat. 

Prosesi tradisi Apitan biasanya dimulai dari arak-arakan hasil bumi baik keliling kampung atau desa. Hasil bumi yang arak berupa padi, palawija, sayur-sayuran atau beraneka macam buah dalam bentuk gunungan atau yang berbentuk olahan matang seperti nasi ambengan atau nasi tumpeng serta ingkung. Arak-arakan tersebut biasanya diringi oleh berbagai seni music maupun pertunjukan.

Nasi ambengan atau tumpeng serta ingkung merupakan Makna dua makanan khas yang harus ada dalam selamatan sedekah bumi ini yaitu: ambengan atau tumpeng melambangkan perwujudan dari hasil panen yang diperoleh, baik dari nasi, maupun lauk pauk yang beranekaragam yang disajikan dalam satu wadah. Sedangkan Ingkung dahulunya memiliki maksud yakni bentuk penyerahan jiwa raga seorang manusia secara utuh (menyeluruh) kepada sang Khalik, melambangkan bayi yang belum dilahirkan dengan demikian belum mempunyai kesalahan apa-apa atau masih suci.

Ingkung merupakan ubo rampe yang berupa ayam kampung yang diolah sedemikian rupa (dimasak utuh dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam) yang kemudian disajikan dengan bentuk yang masih utuh pula.

Sajian hidangan yang lainnya seperti minuman, buah-buahan, dan lauk pauk hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi prioritas yang utama. Dan pada akhir acara, nantinya para petani biasanya menyisakan nasi, kepala, dan ceker ayam yang ketiganya dibungkus dan diletakkan di sudut-sudut petak sawah. Masing-masing sebagai simbol rasa syukur.

Puncak ritual Sedekah Bumi diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh ketua adat, Kiai atau Mudin. Lantunan doa tersebut merupakan kolaborasi antara kalimat-kalimat Jawa dan lafal-lafal doa yang bernuansa Islami, juga merupakan simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan.

Menurut anggapan masyarakat Jawa, dengan menggelar ritual ini konon tanah tidak akan marah, seperti terjadinya longsor, banjir maupun bencana yang lainnya. Adapun makna ‘essensial’ dari ritual Sedekah Bumi yaitu agar manusia merenungkan kembali amanat dari Allah SWT terhadap tugas mereka sebagai Khalifah fil Ardhli yakni: untuk menjaga, melestarikan dan tidak merusak bumi sedikitpun, karena niscaya alam juga akan bersahabat dengan manusia.

Kemudian, setelah acara selamatan mulai ba’da dzuhur sampai setengah lima, kemudian jam 9 malam sampai jam 4 pagi dilangsungkan pagelaran wayang kulit. Media wayang kulit dipilih karena selain dapat dipakai sebagai hiburan, wayang bisa dimanfaatkan sebagai sarana dakwah Islam, sebagaimana yang dicontohkan sunan Kalijaga dahulu.

Dalam pertunjukan wayang tersebut syarat dengan nilai moral kehidupan dan layak dijadikan sebagai keteladanan hidup. Nilai-nilai yang terkandung dalam pewayangan selalu mengajak manusia untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan serta menanamkan semangat amar ma’ruf nahi munkar kepada manusia.

Kesan dan pesan yang terkandung dalam ajaran atau pagelaran wayang kulit penuh dengan nilai-nilai edukatif. Dengan demikian, pertunjukkan wayang tidak hanya sebagai tontonan dan alat penghibur saja, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan bagi manusia. (DAM/dbs)

0 Response to "Tradisi Apitan, Ekspresi Rasa Syukur Diantara Dua Hari Besar"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar