Tradis Wiwitan, Harmonisasi Antara Pencipta Alam dan Manusia

Bagi generasi masa kini, mungkin terasa asing ketika mendengar kata wiwitan. Padahal, tradisi wiwitan merupakan tradisi warisan leluhur yang demikian kaya akan makna dan syarat dengan filosofi kehidupan.

Wiwitan adalah ritual persembahan tradisional Jawa sebagai wujud terima kasih dan rasa syukur kepada Tuhan yang telah menciptakan bumi sebagai sedulur sikep dan Dewi Sri (dewi padi) yang telah menumbuhkan padi yang ditanam sebelum panen. Disebut sebagai ‘wiwitan’ karena arti ‘wiwitan’ adalah ‘mulai’, jadi memulai memotong padi sebelum panen diselenggarakan.

Pengertian bumi sebagai sedulur sikep bagi orang Jawa karena bumi dianggap sebagai saudara manusia yang harus dihormati dan dijaga kelestariannya untuk kehidupan. Dalam tradisi Jawa, konsep meminta kepada sedulur sikep tidak ada atau tidak sopan, kepada sedulur sikep kita harus memberi sekaligus menerima, bukan meminta.

Jika hormat kita berkurang kepada bumi, atau kita tidak menjaga kelestarian alam, maka bumi akan memberi balasan dengan situasi yang buruk yang disebut pagebluk, ditandai dengan hasil panen yang buruk, kekeringan, hasil gabuk, cuaca tak menentu, dan sebagainya.

Sementara itu dilihat dari tinjauan sosiologis, tradisi wiwitan sarat dengan interaksi social. Didalamnya ada hubungan yang saling membutuhkan antara para petani, masyarakat sekitar, pemilik lahan dan penggarap lahan serta pranata social yang ada. Dengan adanya interaksi sosial dalam prosesi wiwitan maka terjalin hubungan yang harmonis dalam masyarakat.

Seperti halnya pelaksanaan syukuran dalam maksyarakat Jawa yang selalu ada sesaji atau kelengkapan lainnya, pelaksanaan ritual wiwitan juga memerlukan sesaji atau disebut ubarampe  yang terdiri dari  nasi tumpeng, ingkung ayam kampung, bunga setaman, iwak gereh, sambel gepeng, jenang jadah,  keris cabai, sayur kluweh, air dadap sirep, kendhi, dan kemenyan.

Menurut R.Suwardanijaya   (2009), dalam adat masayarakat Jawa sesaji merupakan symbol pengharapan hamba kepada Allah agar apa yang diharapkannya terkabul dan lancar. Sesaji juga menjadi symbol hubungan harmonis antara     manusia,   Alam   Donya (   Dunia) dan  Allah. Sehingga  orang–orang memperbanyak   sesaji   sebagai   salah   satu   sarana   penghubung kepada  Sang  Pangeran  yang  tidak  terlihat  mata (ghaib).

Sarana/sesaji  tersebut  pun  berbeda–beda  tergantung tujuannya  untuk  apa.  Dalam  hal  wiwitan  ini,  sesaji/persembahan kepada Yang Maha Kuasa berbeda dengan sesaji dalam gamelan, prosesi  pernikahan,  dll. Adapun  wujud  sesaji  antara  lain  terwujud tumpeng, nasi, jenang ( bubur ), jajan pasar, makanan kecil, buah–buahan, bahkan binatang ternak.

Prosesi Wiwitan

Setelah ubarampe siap, ubarampe kemudian dibawa ke sawah, rombongan    keluarga    petani dan    anak–anak    biasanya mendominasi  dan  ikut  serta  dalam  wiwitan. Tempat yang  dipilih  adalah dipinggir   sawah/dipinggir   batas   sawah   (Jawa : galengan). Lalu, beberapa tanaman padi dibuka untuk menempatkan ubarampe dan ada  yang  dijadikan  satu.  Kemudian  terdapat  prosesi kenduri dalam skala kecil. Kenduri diartikan kekendelan    ingkang  diudhari (keberanian   yang   dibuka,   disampaikan). Selanjutnya pemilik sawah duduk bersila atau lenggah  kenduri  (duduk  bersila,  posisi  duduk  saat prosesi kenduri dan berdoa). kemudian do'a dipanjatkan sambil membakar kemenyan.

Kemenyan yang dibakar, tentunya dipandang sebagai rangkaian prosesi dalam wiwitan itu. Dalam membakar  kemenyan  tidak ditujukan kepada arwah/danyang yang mbaurekso (menguasai) disawah tersebut (atau Dewi Sri). Tetapi kemenyan adalah wujud wewangian untuk menambah  nilai  kesakralan  dalam  tradisi  wiwitan  dan  sesuatu  yang wangi tentunya sedap dirasakan.

Setelah  memanjatkan  do'a, tanaman  padi  disiram  air  kendhi yang  dicampur daun dari  pohon  dadap   sirep  sebagai  simbol  untuk menenangkan   hati   dan   pikiran   setelah   sekian   lama   berjuang menumbuhkan  padi. Rep  kedhep  dadap  sirep. Juga  menyebar beberapa  makanan  ke  tengah  sawah. sebagian  nasi  gudhangan dan  lauk  diambil  kemudian  ditempatkan  dalam  wadah/dibungkus  dari  daun  pisang  atau  dipincuk sebanyak  empat  buah.  Bungkusan tersebut kemudian  ditaruh  di  empat  sudut sawah.  Empat sudut sawah sebagai simbol kiblat papat siji pancer; kakang kawah, adi ari-ari, getih, lan puser, kang nyawiji dadi siji.

Setelah  itu,  beberapa  helai  padi  dipotong  dengan ani-ani untuk  dibawa  pulang.  Biasanya  pongan  padi  tadi  digantung  di atas  pintu.  Nasi  gudhangan  dan  lainnya  pun  dibagi-bagikan  ke rombongan  keluarga  petani yang  ikut  tadi  beserta  anak–anak yang  ikut  serta  dalam  wiwitan.  Piring  daun  pisang  menjadi  wadah untuk tempat nasi gudhangan. Secara bersama–sama menikmati hidangan wiwitan di pematang sawah.

Setelah ritual wiwitan selesai, diadakan perayaan Ekaristi syukur. Helai-helai padi yang telah diikat tadi turut dipersembahkan bersama hasil bumi lainnya. Ritual wiwitan yang bermakna syukur dibawa ke dalam pemaknaan yang lebih rohani: persembahan syukur. Dengan demikian, ritual wiwitan menjadi lebih berbobot rohani ketimbang sebuah ritual yang dianggap animisme.

Setelah perayaan Ekaristi, diadakan makan bersama. Aneka ubarampe yang dibawa dibagi sama rata dan dinikmati secara bersama-sama pula. Dengan demikian, ritual wiwitan tidak hanya berdimensi vertikal. Dalam ritual wiwitan, terkandung dimensi horisontal pula. Relasi Allah-manusia dan relasi manusia-manusia/alam ciptaan tampak jelas tergambar dalam ritual wiwitan ini. Berkat dari Allah yang berlimpah dibagi dan dinikmati bersama dalam sebuah nilai kebersamaan.

0 Response to "Tradis Wiwitan, Harmonisasi Antara Pencipta Alam dan Manusia "

Posting Komentar

Silahkan beri komentar