Grebeg Sudiro, Toleransi dan Harmonisasi Dalam Balutan Budaya

Ratusan bahkan ribuan orang berbaur menjadi satu menikmati dan merayakan event tahun yang diselenggarakan di Kota Surakarta atau Solo. Event tersebut mempertontonkan entitas dua budaya yang saling melengkapi dan bersatu-padu membentuk keharmonisan dan toleransi.

Ya, di kota Solo, tepatnya di kawasan Surodipraja 7 hari menjelang perayaan Imlek diselenggarakan tradisi tahunan yang disebut Grebeg Sudiro. Beragam kesenian dalam bentuk karnaval budaya ditampilkan, terutama kesenian barongsai, liong, pakaian tradisional, adat keraton, sampai kesenian kontemporer. Kegiatan ini digelar di sepanjang Jalan Sudiroprajan dan berhenti di depan Klenteng Tien Kok Sie, di depan Pasar Gede.

Kawasan Sudiroprajan berada di Kecamatan Jebres, Kota Solo. Di kawasan ini, warga Peranakan (Tionghoa) sudah tinggal sejak dahulu di mana mereka menetap dan tinggal berdampingan dengan masyarakat Jawa.
Seiring berjalannya waktu, terjadilah perkawinan antara kedua etnis tersebut yang kemudian menciptakan generasi baru. Untuk menunjukkan akulturasi ini, diciptakanlah perayaan Grebeg Sudiro.

Kata "grebeg" sendiri merupakan bahasa Jawa yang kerap digunakan untuk menyambut hari-hari khusus, seperti Kelahiran Nabi Muhammad, Syawal, Idul Adha, dan Suro. Sedangkan “Sudiro” diambil dari nama wilayah Sudiroprajan.  Puncak perayaan Grebeg Sudiro adalah saat perebutan hasil bumi dan makanan yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki) dan gunung estri (perempuan).

Tradisi rebutan gunungan didasari oleh falsafah jawa berbunyi “ora babah ora mamah”, artinya “jika tidak berusaha maka tidak makan”. Sedangkan bentuk gunung memiliki filosofi bahwa masyarakat Jawa senantiasa bersyukur pada Sang Pencipta.

Gunungan Grebeg Sudiro disusun dari ribuan (4.000) kue ranjang, yaitu kue khas orang Tionghoa saat menyambut Imlek. Gunungan akan diarak di sekitar Kawasan Sudiroprajan, diikuti pawai dan kesenian Tionghoa serta Jawa. Akhir dari perayaan ini ditandai dengan nyalanya lentera atau lampion berbentuk teko yang digantung di atas gerbang Pasar Gede. Penyalaan lampion juga dilakukan di tempat-tempat lain.

Kenapa berbentuk teko, sebab dahulu, jauh sebelum ada Grebeg Sudiro, di kampung Sudiroprajan ini ada tradisi Buk Teko. Buk berarti tempat duduk di tepi jalan yang terbuat dari semen, Teko adalah tempat minum. Buk Teko adalah syukuran menyambut tahun baru Imlek yang sudah ada sejak zaman pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X.

Grebeg Sudiro merupakan salah satu cara menunjukkan harmonisasi antara etnis yang berbeda. Etnis Jawa dan Tionghoa hidup dalam satu lingkungan yang diwarnai tradisi saling menghargai. Menjelang prosesi Grebeg Sudiro, kedua etnis tersebut saling bantu-membantu mempersiapkan ritual syukur kepada bumi dan alam semesta ini.

Grebeg Sudiro yang berbentuk karnaval budaya Jawa – Tionghoa sebagai simbol toleransi dan kerukunan. Simbol-simbol itu nampak pada gunungan 4.000 kue ranjang yang dikirab dan kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir.

Gunungan merupakan tradisi khas Jawa, dan kue ranjang adalah produk makanan khas Tionghoa. Sajian atraksi Liong dan Barongsai beberapa juga dimainkan oleh orang Jawa. Hal ini menjadikan Grebeg Sudiro sebagai pesta penyambutan tahun baru Imlek yang bisa dinikmati dan dirasakan kebahagiaannya oleh siapa saja tanpa membedakan suku, agama dan ras. Semua menyatu dalam kebhinnekaan.

Selain makanan khas Tionghoa, iring-iringan gunungan pada Grebeg Sudiro juga menampilkan makanan khas kampung Sudiroprajan diantaranya gembukan, janggelut, bakpia Mbalong, keleman, onde-onde, dan sebagainya.

Asal Mula

Grebeg Sudiro merupakan sebuah tradisi baru yang menunjukkan ekspresi pembauran budaya antara tradisi Jawa dengan tradisi Tionghoa. Tradisi ini diciptakan tahun 2007 oleh warga Sudiroprajan yaitu Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro dan Kamajaya saat berkumpul di pasat gede. Pada awalnya, mereka hanya ingin mengangkat wilayah Sudiropraja agar dikenal oleh masyarakat luas.

Usul dan ide tersebut kemudian mendapat persetujuan dari Kepala Kelurahan Sudiroprajan beserta jajaran aparatnya, para budayawan dan tokoh masyarakat serta LSM di Kelurahan Sudiroprajan, hingga akhirnay muncullaha “event budaya” Grebeg Sudiro.

Grebeg Sudiro merupakan suatu kegiatan untuk menyatukan warga antara etnis Tionghoa dengan Jawa, seperti halnya dengan “Bersih Desa” di mana semua warga berkumpul, saling bekerja sama dan gotong royong yang berbeda latar belakang budayanya. Sebagai catatan, kelurahan Sudiroprajan terletak di daerah pecinan tepat di pusat kota Solo.

Penduduk Sudiroprajan yang terdiri cukup banyak warga etnis Tionghoa telah sejak lama dikenal berinteraksi secara harmonis dengan penduduk etnis Jawa yang berada di sana. Perkawinan campur sudah menjadi hal biasa yang terjadi di kawasan Sudiroprajan yang kemudian melahir kan istilah “kue Ampyang” sebagai simbol hasil percampuran Tionghoa dengan Jawa.

Setelah terjadi perkawinan campur antara orang Jawa dengan orang Tionghoa, maka secara kontak budaya juga melahirkan kebudayaan yang campuran pula. Inilah akuturasi budaya yang indah yang membentuk rasa tolerasi sejati di wilayah Sudiropraja. (dn/dbs)

0 Response to "Grebeg Sudiro, Toleransi dan Harmonisasi Dalam Balutan Budaya"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar