Ritual Hajat Sasih: Saat Keyakinan Agama Bersanding Harmonis dengan Kepercayaan Leluhur



Kampung Naga, bukanlah mitos selayaknya hewan Naga dalam mitologi Tiongkok. Kampung Naga  adalah sebuah komunitas masyarakat Sunda yang mendiami salah satu lembah di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat  yang hingga saat ini masih setia memegang adat dan tradisi leluhurnya.

 Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun.

Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini akan menimbulkan malapetaka.

Dalam menjalankan tradisi leluhur maupun perintah ajaran agama, masyarakat Kampung Naga memiliki cara tersendiri (kearifan lokal). Hal tersebut dimaksudkan agar kedua-duanya (agama dan tradisi leluhur) dapat berjalan harmonis dan tidak ada pertentangan atau konflik didalam komunitas. Salah satu kearifan lokal tersebut yang saat ini masih dijalankan adalah Ritual Hajat Sasih.

Masyarakat Kampung Naga sebagai sub-kultur budaya Sunda menerima Islam sebagai agamanya sejak pembukaan awal Kampung Naga, sehingga proses akulturasi tersebut tidak disadari oleh generasi sesudahnya. Begitu pula pelaksanaan hajat sasih, masyarakat kampung naga memahaminya sebagai tradisi leluhur yang harus dilaksanakan, padahal secara substansi hajat sasih merupakan proses akuturasi  antara Islam dan kepercayaan leluhur.

Secara khusus, Hajat Sasih dipahami masyarakat Kampung Naga sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, serta mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada mereka. Selain itu, ritual ini juga dilaksanakan sebagai ritual penyambut dan perayaan hari-hari besar Islam seperti Iedul Fitri, Iedul Adha, Maulid Nabi Muhammad Saw, Haji dan sebagainya.

Awal mula pelaksanaan ritual hajat sasih tidak diketahui pasti sejak kapan dilaksanakan akan tetapi masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama ratusan tahun sejak meninggalnya Sembah Dalem Eyang Singaparna. Hal ini dikarenakan benda-benda pusaka dan keramat yang merupakan tulisan dan gambaran sejarah dari leluhur dan asal usulnya pada tahun 1956 habis dibakar oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo.

Benda-benda pusaka yang saat ini masih ada hanyalah beberapa benda yang tidak dapat terbakar dan beberapa tulisan yang pada waktu Kampung Naga dibumihanguskan disimpan oleh pemangku adat Sanaga. Oleh karena itulah sangat sukar mengungkap bagaimana sejarah asli Kampung Naga khususnya sejarah pelaksanaan ritual Hajat Sasih

Umumnya masyarakat Kampung Naga hanya mengetahui bahwa pelaksanaan ritual hajat sasih merupakan perintah langsung dari Sembah Dalem Eyang Singaparna yang merupakan leluhur atau yang pertama kali membuka Kampung Naga.  

Waktu Pelaksanaan

Sebagai bentuk akulturasi budaya, waktu pelaksanaan ritual Hajat Sasih mengacu pada kalender Islam dan hari besar Islam dan di laksanakan 5 kali dalam 1 tahun, yaitu pada tanggal 26, 27, dan 28 Muharam. Tanggal  12,13, dan 14 Robiul Awwal. Tanggal 16, 17, dan 18 Sya’ban. Tanggal 14, 15, dan 16 Syawal. Dan  tanggal 10, 11, dan 12 Dzulhijjah atau Rayagung.

Tiga hari dalam setiap bulan diatas dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih berdasarkan waktu yang lebih memungkinkan untuk melaksakannya. Hajat Sasih tidak boleh dilaksanakan bersamaan dengan ritual Menyepi, pada setiap hari selasa, rabu dan sabtu. Oleh karena itu, disediakan alternatif sehingga masyarakat Kampung Naga melaksanakan salah satu ritual dengan tidak melanggar ritual adat yang lainnya.

 Sebagai tahap awal pelaksanaan ritual Hajat Sasih, secara bergotong-royong masyarakat Kampung Naga membersihkan area perkampungan. Setiap pojok rumah atau belokan yang memungkinkan  bertumpuknya sampah, dibuat dan dipasangkan tempat sampah yang terbuat dari bambu. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju perkampungan. Acara pembersihan kawasan perkampungan ini dilakukan sehari atau dua hari menjelang Hajat Sasih dilaksanakan.

Proses Ritual
Sejatinya ritual Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur secara bersama-sama. Sebelumnya para peserta ritual harus melaksanakan beberapa tahap ritual. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan, upacara ini disebut beberesih atau susuci.

Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.

Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam.

Para peserta yang berada di dalam mesjid kemudian keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.

Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna.

Kuncen melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama.

Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.

Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan di Bumi Ageung.

Proses akhir dari ritual Hajat Sasih diadakan di mesjid, para peserta ritual duduk dengan mengelilingi, nasi tumpeng dan lauk pauknya. Kemudia wanita patunggon (penunggu Bumi ageung) datang membawa air kendi yang kemudian diserahkan kepada kuncen. Setelah patunggon  keluar kuncen segera berkumur-kumur dengan air didalam kendi tadi dan membakar kemenyan, lalu ia mengucapkan ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya Lebe membacakan do’anya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan do’a diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al Fatihah. 

Suasana khidmat yang menyelimuti semua peserta di dalam Masjid berlangsung untuk beberapa saat. Tetapi diluar, puluhan wanita telah bersiap menunggu upacara tersebut usai. Mereka menunggu boboko (tempat menyimpan nasi yang terbuat dari bambu) yang telah mereka simpan di dalam Masjid. Boboko tersebut berisi tumpeng (nasi kuning) beserta lauk pauknya yang beragam tergantung selera dan kemampuan masing-masing keluarga.

Ketika pembacaan do’a selesai, matahari telah tergelincir dari puncaknya. Boboko yang berisi nasi tumpeng dan lauk pauknya segera dibagikan kepada pemiliknya masing-masing. Setiap perempuan mengambilnya dengan tertib dan teratur, lalu membawanya pulang. Nasi tumpeng tersebut kemudian dijadikan santapan makan siang bersama seisi rumah. Mereka menyebutnya murak tumpeng. Berakhirlah runtutan upacara ritual Hajat Sasih. (DAM)

0 Response to "Ritual Hajat Sasih: Saat Keyakinan Agama Bersanding Harmonis dengan Kepercayaan Leluhur"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar