Budaya Lumbung, Kearifan Lokal yang Semakin Memudar



Salah satu khazanah budaya dan menjadi kearifan local bagi masyarakat di Indonesia adalah sistim penyimpanan pangan atau lumbung. Di Indonesia, istilah lumbung atau lumbung pangan dikenal dengan “lumbung desa” karena umumnya di setiap desa atau setiap daerah di Indonesia memiliki lumbung sendiri-sendiri.

Lumbung berasal dari istilah Jawa yang artinya tempat penyimpanan hasil panen. Namun diberbagai daerah di Indonesia lumbung mempunyai nama yang bermacam-macam. Di Sumatera tepatnya di masyarakat Minangkabau istilah lumbung disebut Rangkiang,  di masyarakat Sunda disebut Leuit, Di  Enrakang, Sulawesi Selatan disebut Landa. 

Adapun di Boti dan Pulau Timor, NTT ada Umekebubu (rumah tradisional), biasanya bagian atas kubah umekebubu dipergunakan sebagai tempat penyimpanan terutama hasil pertanian, sedangkan  istilah lumbungnya disebut Lopo. Di Batak Karo, Sumut  ada istilah Sapo Page, di Bali lumbung pangan disebut Jineng, di Toraja disebut Alang, di Dompu, NTT disebut Jompa dan masih banyak lagi istilah-istilah lainnya. 

Zaman dulu, lumbung desa mempunyai fungsi yang strategis dalam menopang ketahanan pangan. Acap kali usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat tidak memberikan hasil yang diharapkan, misalnya gagal panen karena serangan hama atau bencana alam. Kondisi seperti ini jika tidak diantisipasi tentu akan menyulitkan petani sendiri dan juga orang lain yang memerlukan hasilnya. Pada saat demikian keperluan hidup hanya dapat dipenuhi dengan persediaan pangan yang ada. Jika tidak ada, tentu akan menimbulkan masalah sosial yang lebih besar.

Lumbung desa, juga dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan posisi tawar petani. Sering kali produk pertanian dihargai sangat rendah ketika panen raya atau terjadi kelebihan produksi. Dengan keberadaan lumbung desa, petani dapat mengendalikan suplai produksinya, dengan menyimpannya dulu di dalam lumbung sambil menunggu harga yang lebih baik sebelum dilempar ke pasar.

Selain itu, lumbung desa juga digunakan sebagai tempat menyimpan benih. Belasan tahun lalu kita masih mendapati petani pada waktu panen menyisihkan beberapa bagian hasil panennya, misal padi dan jagung.  Benih yang berkualitas  kemudian dipilih dan dipilah yang terbaik kualitasnya untuk dijadikan benih. Benih padi ataupun jagung ini tetap dibiarkan dengan kondisi utuh bertangkai dan diikat kemudian disimpan di dalam lumbung desa. Hal ini dilakukan untuk tetap mempertahankan kualitas benih dari pengaruh cuaca, gangguan hama, ataupun ngengat hingga musim tanam tiba.

Di samping untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, terutama dalam menghadapi musim paceklik, lumbung desa juga mempunyai peran sosial. Dengan keberadaan lumbung desa, terutama yang dikelola secara bersama-sama, tentu akan menumbuhkan rasa sosial di antara anggota masyarakat.

Hubungan masyarakat yang bahu-membahu, saling membantu, dan merasa senasib sepenanggungan dapat menjadi modal sosial dalam pembangunan. Ini tentu modal yang sangat berharga di tengah kondisi masyarakat yang mulai tercerai-berai dan tercerabut dari akar budayanya. 

Semakin Memudar

Saat ini, sistem lumbung sebagai pusat cadangan pangan, terutama di kawasan pedesaan, kini semakin sulit ditemukan. Sisa kearifan pengelolaan pangan itu terkikis oleh perubahan tuntutan hidup, dimana kepraktisan menjadi salah satu dasar perhitungan. Padahal, keberadaan lumbung sangat berguna apabila sedang terjadi paceklik.

Mulai memudarnya peran lumbung  ditenggarai disebabkan karena mulai memudarnya budaya gotong royong dimasyarakat pedesaan. Karena daya tahan keberadaan lumbung desa sebetulnya terletak pada kehidupan sosial dan semangat gotong royong yang mendarah daging dalam masyarakat. Oleh karenanya pertumbuhan lumbung desa di Indonesia akan terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat.

Memudarnya peran lumbung juga dikarenakan semakin mudahnya masyarakat mendapat akses perekonomian serta keterlibatan pemerintah dalam mengambil alih fungsi lumbung dengan mendirikan BULOG sebagai lumbung nasional. Hal ini tentunya melemahkan kemandiri pangan masyarakat, khususnya petani.   

Sejarah Lumbung

Ditilik dari sejarahnya, ide lumbung desa ternyata sudah berumur tak kurang dari seratus tahun tahun! Inisiatif untuk mengembangkan bangunan lumbung desa ini dimulai tahun 1902 oleh Messman, orang Belanda, yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang (Jabar). 

Gagasan tersebut dipantik oleh kekhawatiran Messman akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerah yang dipimpinnya. Dalam pemikirannya, apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.

Ide Messman disambut positif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga kemudian terdapat sebuah institusi khusus yang membina lumbung desa secara intensif ,yakni Dienst voor Volkscreditwiysen (Dinas Perkreditan Rakyat). Dinas tersebut bernaung di bawah Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda saat itu. Sejarah terus bergulir dan membawa nusantara menjadi negeri merdeka. Namun gagasan Messman tetap memperoleh ruang untuk terus dijalankan. (DAM)

0 Response to "Budaya Lumbung, Kearifan Lokal yang Semakin Memudar"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar