
Jika ditelusuri, petasan dan kembang api merupakan tradisi yang berakar dari kebudayaan Cina. Tradisi ini masuk dalam kebudayaan Betawi sebab dibawa oleh warga Tionghoa yang bermigrasi ke Jakarta. Unsur kebudayaan Cina ini menjadi elemen utama yang menyusun rancang bangun kebudayaan Betawi. Asumsinya adalah kebudayaan Betawi tidaklah statis, melainkan selalu dinamis dan berkembang sepanjang waktu. Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi bagian dari tradisi.
Sejarah mencatat, petasan dan kembang api bermula di Cina pada abad ke-11, dan selanjutnya menyebar ke jazirah Arabia pada abad ke-13, kemudian ke negara-negara Eropa. Orang Cina menemukan bubuk mesiu yang merupakan campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal, yang jika digabungkan dengan oksigen, akan menimbulkan ledakan dan cahaya yang menyembur. Meskipun dalam perkembangannya, bubuk mesiu lebih banyak digunakan untuk kepentingan militer, namun pada abad ke-17, bubuk mesiu ini mulai digunakan untuk kepentingan entertainment yang mengiringi sebuah pementasan.
Hingga kini, orang Arab menyebut kembang api sebagai Panah Cina (The China Arrow) sesuai nama asalnya. Menurut beberapa literatur Cina, bubuk mesiu pertamakali ditemukan pada masa Dinasti Sung (960-1279). Bahkan, mesiu sudah digunakan dalam peperangan ketika Cina hendak menghadang ekspansi bangsa Mongol yang dipimpin Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1279. Para sejarawan menyepakati ekspansi Mongol ini menjadi babakan penting dalam mengenalkan mesiu ke dunia Eropa melalui tangan bangsa Mongol.
Menurut Alwi Shahab, ahli sejaran dan budaya Betawi petasan bagi orang Betawi memiliki makna dan fungsi sosial yang penting. Pada zaman dahulu petasan dijadikan fungsi komunikasi yang sangat efektif. Petasan dijadikan pertanda apabila kedatangan orang atau sesuatu yang istimewa. Masalnya kedatangan mempelai pria ke rumah mempelai wanita, keadatangan penganten sunat di rumah atau kedatang bulan puasa.
Selain itu petasan juga menjadi tanda apabila disuatu kampung atau disuatu rumah sedang ada pesta. Hal itu dimaksudkan untuk memberitahukan masyarakat karena pada waktu it penduduk Betawi masih sangat jarang. Meskipun saat ini petasan mengalami pergesaran makna dan fungsi namun petasan tetap mendapatkan tempat bagi para penggemaranya, teruatam warga Tiongkok dan Betawi tentunya.
Mitos Petasan Di Tiongkok

Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu. Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah. Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak. Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit.
Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit. Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat. Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu menyerang para pemburu dan orang desa itu. Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan.
Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung. Di kemudian hari, ini menjadi sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan pada setiap Perayaan Tahun Baru Imlek dan petasan menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan budaya masyarakat Tiongkok, hingga menyebar keseantero dunia.
0 Response to "Petasan, yang Dirindu yang Dibenci"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar