Catatan Sujana Royat
Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan oleh berita meninggalnya seorang ibu dan dua anaknya akibat kelaparan akut. Ironisnya kejadian tersebut terjadi di daerah penghasil pangan atau daerah yang menjadi lumbung pangan, Makasar, Sulawesi Selatan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Semestinya hal tersebut tidak perlu terjadi apabila setiap warga memiliki kepedulian social terhadap lingkungannya. Memang tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya dan menjamin masyarakat agar dapat menikmati hak dasarnya yaitu, makan akan tetapi jangkauan tangan pemerintah terhadap semua persoalan rakyatnya sangatlah terbatas, untuk itu kepekaan dan kepedulian bersama harus ditumbuhkembangkan. Pemerintah dan masyarakt harus sama-sama mengawasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Kalau bisa pemerintah dan masyarakat harus menggunakan sistem jemput bola untuk meminimalisir kasus seperti orang mati akibat kelaparan.
Sebenarnya disetiap komunitas masyarakat
Dalam agenda PMI point wawasan kebangsaan, kebudayaan, keagamaan dan etika, pemerintah mencoba mendorong masyarakat untuk membangun dan mengembangkan inovasi-inovasi baik yang diadopsi dari luar maupun dari local dan tentunya tanpa harus menanggalkan jati diri bangsa. Salah satu model perpaduan yang tercipta antara dari luar dan local adalah munculnya apa yang disebut social entrepreneurship atau kewirausahaan social.
Apa itu kewrausahaan social? Menurut definisi, wirausaha adalah suatu kegiatan yang dapat memberikan nilai tambah terhadap produk atau jasa melalui transformasi, kreatifitas, inovasi, dan kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga produk atau jasa tersebut lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pengguna produk dan jasa (Prof. Raymond Kao, Nanyang Business School, Singapore 1999). Kewirausahaan (entrepreneurship) berpengaruh terhadap kemajuan ekonomi bangsa. Singapura misalnya, menjadi negara yang maju karena prinsip-prinsip entrepreneurship.
Pengertian sederhana dari Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurshipuntuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidangkesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare). Jika business entrepreneurs mengukur keberhasilan dari kinerja keuangannya (keuntungan ataupun pendapatan) maka social entrepreneur keberhasilannya diukur dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
Social Entrepreneurship akhir-akhir ini menjadi makin populer terutama setelah salah satu tokohnya Dr. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 2006. Namun di
Oleh karena itu upaya untuk memasyarakatkan Social Entrepreneurship harus mendapatkan dukungan semua pihak yang mendambakan terwujudnya kesejahteraan rakyat yang merata, dan diharapkan tidak hanya berhenti dalam seminar ini saja tetapi dilanjutkan dengan rencana aksi yang nyata sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Sesungguhnya Social Entrepreneurship sudah dikenal ratusan tahun yang lalu diawali antara lain oleh Florence Nightingale (pendiri sekolah perawat pertama) dan Robert Owen (pendiri koperasi). Pengertian Social Entrepreneurship sendiri berkembang sejak tahun 1980 –an yang diawali oleh para tokoh-tokoh seperti Rosabeth Moss Kanter, Bill Drayton, Charles Leadbeater dan Profesor Daniel Bell dari Universitas Harvard yang sukses dalam kegiatan Social Entrepreneurship karena sejak tahun 1980 berhasil membentuk 60 organisasi yang tersebar diseluruh dunia.
Contoh kewirausahaan social yang menarik ditulis oleh Prof. Prahallad (The Fortune at the Bottom of the Pyramid, 2004), mengenai Jaipur Foot. Di India terdapat 5,5 juta orang yang diamputasi dan angka itu bertambah tiap tahunnya sekitar 25 ribu orang. Mayoritas mereka adalah orang miskin dan tidak mampu membayar pelayanan medis. Ketika industri prosthesis (anggota tubuh buatan) begitu rumit dan mahal, Jaipur Food menemukan teknologi yang sesuai dengan gaya hidup orang miskin. Jika biaya sebuah kaki buatan di AS senilai US$ 8 ribu, Sementara kaki buatan Jaipur Foot senilai US$ 30. Inovasi ini secara nyata mampu menolong orang miskin cacat untuk tetap produktif bekerja. Inovasi dan solusi yang unik terhadap masalah kemiskinan juga kita temukan dalam kisah sukses Grameen Bank, di Bangladesh, SEWA Bank di India, atau berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh kalangan LSM, seperti PEKERTI, Purbadanartha, Yayasan Mitra Usaha, dll.
Kewirausahaan sosial menjadi menarik kita diskusikan, ketika kita dihadapkan pada angka kemiskinan masih relatif tinggi, yaitu 37,17 juta jiwa atau 16,58% jumlah penduduk (versi BPS dengan biaya hidup Rp 152.847 per orang/bulan). Sementara itu versi Bank Dunia (dengan ukuran US$2 per orang/hari) menyebut angka kemiskinan di Indonesia mencapai 105 juta jiwa atau 45% penduduk. Di sisi lain, tidak adanya daya tarik investasi, industri di Indonesia tengah memasuki usia senja (sunset industry). Kesempatan kerja kian menyempit dan melonjaknya pengangguran terbuka sebesar 10,55 juta jiwa atau sekitar 9,75% dari jumlah angkatan kerja.
Untuk menjawabnya dibutuhkan banyak terobosan, dibutuhkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai inisiatif. Oleh karena itu persoalan kita bukan bagaimana menyusun definisi ataupun kategori kewirausahaan sosial, namun lebih pada bagaimana menemukan spirit daripadanya. Bagaimana agar kinerja wirausaha itu semakin memiliki dampak sosial yang besar. Karena baik Muh. Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial tak kan mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan.
0 Response to "Menumbuhkan Kewirausahaan Sosial"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar