Judul : Change Management dalam Reformasi Birokrasi
No. ISBN : 979-22-3058-0
Penulis : A. Qodri Azizy
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit : Juli - 2007
Jumlah Halaman : xvii -160
Peresensi : Deni Adam Malik
Memburuknya kondisi saat ini dan rendahnya daya saing bangsa dalam berbagai kancah internasional sungguh sulit untuk ditampik. Beberapa kondisi itu, antara lain terlihat dari: belum bergesernya negara kita dari kelompok miskin (lower income country); tingginya angka pengangguran; minimnya infrastruktur ekonomi seperti memburuknya kondisi jalan dan krisis listrik di luar Jawa; rendahnya mutu pelayanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan yang tercermin dari rendahnya nilai Human Development Index (HDI); masih adanya ancaman disintegrasi bangsa; bertahannya posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia; serta semakin parahnya tingkat kerusakan lingkungan.
Di sisi lain, berbagai peluang dan momentum yang ada juga gagal dimanfaatkan sebaik-baiknya, seperti: menurunnya produksi minyak mentah justru pada saat harga minyak dunia terus mencapai rekor tertinggi; terseoknya pelaksanaan desentralisasi; serta gagalnya pemahaman dan pemanfaatan teknologi maju seperti telematika untuk hal-hal produktif dalam era new economy yang berbasiskan informasi dan ilmu pengetahuan.
Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa proses pemburukan dan ketidakmampuan memanfaatkan momentum yang sangat berharga bagi kehidupan berbangsa itu terus terjadi? Akankah berbagai prestasi tingkat dunia yang telah sukses diukir, seperti berjalannya proses Pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden juga akan terbuang percuma?
Terus terang, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas akan sangat beragam, tergantung sudut pandang dan ketertarikan (interest) yang dimiliki seseorang. Namun utamanya banyak yang menuding karena disebabkan oleh tidak berjalannya mesin birokrasi pemerintahan secara maksimal.
Keharusan Berubah
Tidak sedikit upaya untuk merubah prilaku birokrasi (mereformasi birokrasi) sejak reformasi bergulir yaitu 1998 tuntutan tersebut semakin kuat. Tuntutan tersebut diterjemahlan dengan pengelolaan pemerintah yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ada banyak peraturan hukum yang dibuat untuk mendukung upaya pemeberantasan KKN, seperti ; UU No.28/1998, UU No.31/1999, UU No.20/2001, UU No.30/2002, UU No.15/2002 dan UU No.25/2003. Selain itu ada juga Inpres No.5/2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Dan tentunya juga dilengkai dengan regulasi turunannnya seperti SE Menpan dan lain-lain.
Tuntutan adanya perubahan yang signifikan terhadap kinerja birokrasi semakin meluas apalagi dihadapi oleh kenyataan semakin berkembangnya zaman yang menuntut segala sesuatu serba cepat. Perubahan perlu dilakukan karena situasi dan kondisi berubah, pangsa pasar berubah, permintaan terhadap produk berubah, tuntutan pasar juga ikut berubah. Dan di era reformasi saat ini perubahan harus terjadi pada pemerintah. Pemerintah tidak saja harus bisa menerima kritik tapi juga mampu untuk menyelesaikan tuntutan reformasi.
Keinginan memperbaiki kondisi birokrasi secara nyata sebenarnya bukanlah tidak ada. Pada masa awal pemerintahannya, Gus Dur telah memperlihatkan pemahaman yang sangat mendasar akan keharusan untuk memperbaiki kondisi birokrasi. Beliau telah memulainya dengan langkah nyata, yaitu meningkatkan besarnya tunjangan jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan tertentu.
Namun kenaikan tunjangan yang dapat merangsang sekitar 4 juta PNS (pegawai negeri sipil) untuk bekerja lebih baik itu, setelah berjalan dua bulan kemudian diturunkan lagi ke tingkat yang hanya cukup mengejar tingkat inflasi dalam satu tahun. Setelah itu nyaris tidak pernah ada lagi perbaikan berarti untuk kalangan birokrat, kecuali edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yang menghimbau penghematan kertas dan stationary lain serta larangan pejabat memakai jas dan berbagai larangan lain yang tidak terlalu prinsipil.
Memburuknya kondisi birokrasi setelah 32 tahun di bawah bayang-bayang kaku kekuasaan dan dilanjutkan enam tahun berikutnya tanpa perbaikan berarti, harus segera diakhiri jika memang menginginkan berjalannya program perbaikan bangsa. Berbagai langkah reformasi birokrasi dapat dilaksanakan secara bertahap.
Langkah-langkah itu bisa berupa penyesuaian kompetensi dengan jabatan, rasionalisasi jumlah PNS, perbaikan tingkat gaji dan tunjangan jabatan yang diiringi dengan sanksi tegas bagi pelanggar aturan, penonaktifkan pejabat yang pernah atau diduga sedang terlibat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pergantian pejabat yang memang tidak berprestasi dan lebih memikirkan kepentingan pribadi/golongan, dan sebagainya.
Namun lagi-lagi usaha tersebut sepertinya tidak berjalan dengan efektif karena ada banyak persoalan yang terdapat dalam tubuh birokrasi di Indonesia, mulai dari gemuknya struktur organisasi, rekruitmen yang tidak jelas, masih banyak PNS yang berpendidikan rendan, sistem penggajian yang tidak adil, faktor kepemimpinan yang tidak efektif, tumpang tindih program kerja, peraturan perundang-undangan yang tidak singkron, hingga budaya patrineal yang kuat yang pada gilirinnya menghambat terciptanya ‘corporat culture’.
Semua persoalan yang ada di tubuh birokrasi menurut A. Qodry Azizy yang diulas dalam bukunya tersebut adalah lemahnya implementasi. Perbaikan harus dipraktikkan, bukan sekedar wacana, dianjurkan, diinstruksikan, dan dikuatkan dengan hukum. Selain itu juga harus mempuyai grand design dengan menerapkan change management sebagai sebuah strategi.
Namun yang lebih ditekankan adalah kesadaran dan semangat para birokrat untuk mereformasi birokrasi, karena walaupun segala peraturan, hukum dibuat, insentif ditingkatkan, pengawasan diperketat, rekruitmen diperbaiki, adanya kontrak kerja birokrasi, namun kalau pelaku birokrasi atau birokrat tidak menghendaki perubahan maka perubahan itu hanyalah sebuah utopis.
0 Response to "Semangat Birokrat Mereformasi Birokrasi"
Posting Komentar
Silahkan beri komentar