Memberdayakan Si Miskin Secara Berkelanjutan

Judul Buku : The Fortune at The Bottom of The Pyramid, Eradicating Poverty Through
Profit
Pengarang : C. K. Prahalad
Penerbit : Wharton School Publishing, 2005
ISBN : 81-7758-776-5
Jumlah Halaman : 401 halaman
Peresensi : Deni Adam Malik


Wacana tentang pengentasan kemiskinan kerap didominasi kritik terhadap kurangnya peran swasta, khususnya pengusaha, dalam "perang terhadap kemiskinan". Pengusaha dianggap kurang beramal, kurang menyumbang keuntungan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Karena itu, pemerintah dan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) gigih mengimbau, termasuk melalui inisiatif corporate social responsibility (CSR) yang akhir-akhir ini banyak bergema.

Namun, pendekatan pemberantasan kemiskinan seperti ini sering menemui jalan buntu. Karena amal sering kali dilihat sebagai beban, pengusaha hanya beramal sejauh imbauan pemerintah dan LSM tanpa usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini cenderung tidak berkelanjutan, apalagi karena umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.

Kebuntuan ini menciptakan frustrasi dan kekecewaan, berujung pada tuduhan bahwa pengusaha mencari keuntungan tanpa peduli sosial. Di lain pihak, pengusaha pun merasa amal yang diminta berlebihan, lebih daripada yang bisa dipertanggung-jawabkan kepada pemilik perusahaan. Selain itu, karena dianggap tidak memberi keuntungan menjanjikan, banyak perusahaan ragu menaruh perhatian khusus pada kelompok miskin sebagai target pasar utama.

Sektor swasta pun sering dituding sebagai pihak yang serakah dan tidak peduli terhadap pengentasan masyarakat miskin. Perspektif ini membawa mereka pada satu kesimpulan, motif mencari keuntungan tidak sejalan dengan niat luhur mengentaskan masyarakat miskin.

Sektor swasta, khususnya perusahaan multinasional, juga terbelenggu oleh logika mereka sendiri. Manajer pemasaran di perusahaan multinasional umumnya hanya menganggap kelas menengah dan atas pada piramida konsumen sebagai target yang mereka bidik. Bagaimana dengan masyarakat miskin penghuni dasar piramida? Mereka bukanlah target pasar yang menguntungkan, karena itu biarlah menjadi urusan pemerintah dan LSM.

Berbeda dari logika di atas, Prof. C.K. Prahalad hendak mengemukakan pemikiran alternatif yang menyangkut dua hal pokok. Pertama, keterlibatan swasta, dengan sumber daya dan jaringan global yang dimilikinya, sangat penting dalam upaya pengentasan masyarakat miskin. Keterlibatan ini murni bisnis, bukan dalam konteks filantropi. Sederhananya, masyarakat miskin dijadikan sebagai konsumen. Kedua, konsumen yang termasuk dalam golongan /bottom of the pyramid/ (BOP) merupakan potensi pasar yang sangat besar dan dalam jangka panjang akan memegang posisi kunci bagi pertumbuhan sektor swasta.

Prahalad menyadari, mengubah masyarakat miskin menjadi konsumen yang menguntungkan bukan perkara mudah. Kita dituntut mempertanyakan kembali asumsi-asumsi kita tentang mereka dan memandang mereka dengan cara pandang baru. Hanya dengan cara pandang baru, kita dapat memahami karakteristik mereka dan mencari pendekatan yang efektif untuk melayani mereka. Melakukan /copy-paste/ terhadap model yang digunakan di negara maju hampir pasti menghasilkan kegagalan.

Hanya dengan melihat pendapatan per kapita rata-rata konsumen BOP yang kurang dari US$ 1.500, kita sering mengambil kesimpulan bahwa pasar ini tidak menarik. Kita lupa bahwa dengan populasi yang mencapai 4 miliar jiwa, mereka mewakili pasar triliunan dolar. Sembilan negara Cina, India, Rusia, Brasil, Indonesia, Meksiko, Turki, Thailand dan Afrika Selatan yang secara kolektif memiliki populasi penduduk sekitar 3 miliar jiwa, mewakili ekonomi senilai US$ 12,5 triliun, lebih besar dari gabungan ekonomi Jepang, Jerman, Prancis, Inggris dan Italia. Pasar sebesar ini bukanlah pasar yang pantas diabaikan.

Selain identik dengan tempat tinggal di daerah pedesaan, konsumen BOP juga dianggap tidak memiliki kesadaran akan merek (/brand conscious/). Pengalaman Casas Bahia di Brasil dan Elektra di Meksiko ? keduanya adalah pengecer produk elektronik terkemuka ? menunjukkan fakta sebaliknya. Seharusnya hal ini bukan sebuah kejutan. Aspirasi untuk memperoleh kualitas hidup yang baik, yang diwakili produk bermutu, adalah impian semua orang, tidak terkecuali konsumen BOP. Selain sadar merek, konsumen BOP juga sadar nilai (/value conscious/). Artinya, mereka mengharapkan produk berkualitas dengan harga terjangkau. Ini menjadi tekanan bagi sektor swasta untuk melakukan efisiensi pada semua proses bisnisnya.

Terkait dengan teknologi, kita menganggap konsumen BOP sebagai kelompok yang tidak membutuhkan teknologi modern. ITC, perusahaan konglomerat India, menemukan bukti yang mementahkan asumsi ini. Untuk memberdayakan petani kedelai, ITC memasang komputer yang terhubung ke jaringan Internet di tempat-tempat pertemuan desa yang disebut dengan e-Choupal. Awalnya, fasilitas ini dimaksudkan agar petani memperoleh informasi harga di sejumlah balai lelang lokal sehingga dapat menjual ke balai lelang yang menawarkan harga tertinggi. Ternyata, petani melakukan lebih dari itu. Beberapa petani malah mengakses harga kedelai di pasar komoditas Chicago Board of Trade. Berdasarkan harga tersebut, mereka memperkirakan tren harga dan waktu terbaik untuk menjual hasil panen mereka. Fakta ini merupakan bukti bahwa masyarakat miskin tidak hanya butuh, tetapi telah siap memanfaatkan teknologi terbaru.

Menghadapi kondisi pasar di negara maju yang makin jenuh, perusahaan multinasional dituntut mencari potensi pertumbuhan di tempat lain. Empat miliar jiwa dan ekonomi sebesar US$ 12,5 triliun di pasar BOP merupakan mesin pertumbuhan yang sangat besar. Memperoleh basis pelanggan baru untuk mempertahankan pertumbuhan tentu menjadi insentif yang menarik, tetapi itu bukanlah satu-satunya manfaat yang bisa didapatkan perusahaan multinasional. Konsumen BOP juga bisa menjadi sumber lahirnya inovasi. Karakteristik pasar BOP menuntut perusahaan multinasional menginovasi produk, layanan, proses dan, mungkin lebih jauh lagi, model bisnis. Pada akhirnya, inovasi ini sering menjadi keunggulan bersaing di negara maju sekalipun.

Prahalad melihat bahwa upaya perusahaan multinasional menjadikan masyarakat miskin sebagai konsumen merupakan win-win solution. Menjadi konsumen perusahaan multinasional memberi masyarakat miskin akses terhadap produk dan layanan berkualitas global seperti yang dinikmati masyarakat kelas menengah-atas. Hal ini akan meningkatkan harga diri mereka. Upaya ini juga akan membangun kepercayaan di antara masyarakat dan perusahaan. Contoh perusahaan yang sukses melakukannya adalah Casas Bahia. Perusahaan ini memberi peluang bagi masyarakat miskin Brasil membeli barang-barang elektronik atau furnitur bermerek secara kredit. Langkah ini membangun kepercayaan konsumen. Kepercayaan konsumen tecermin dari default rate sebesar 8,5%, tidak berbeda jauh dari pemain lain yang melayani seluruh segmen konsumen. Selain itu, Casas Bahia juga dapat menjalankan bisnis dengan aman di daerah-daerah rawan Sao Paulo atau Rio de Janeiro.

Dari studi kasus yang disajikan dalam buku ini, kita dapat menarik pelajaran bahwa inovasi dalam melayani konsumen BOP tidak terbatas pada bidang industri atau negara tertentu. Contoh-contoh inovasi yang dikemukakan dapat dijadikan inspirasi bagi pelaku bisnis di perusahaan multinasional melakukan hal serupa. Saat existing market mulai jenuh dan perusahaan harus tetap tumbuh, mungkin inilah saatnya melirik pasar di dasar piramida konsumen yang selama ini terabaikan. Jika pasar ini dapat diraih, bukan saja pertumbuhan yang dapat diperoleh, tapi juga kepuasan tersendiri karena telah membantu masyarakat miskin menaiki tangga piramida konsumen.

Buku ini memang lebih banyak mengupas upaya perusahaan multinasional menjadikan masyarakat miskin sebagai konsumen. Namun sebagai sebuah pemikiran alternatif dalam upaya pengentasan masyarakat miskin, buku ini juga layak dibaca pejabat negara donor, aktivis LSM, akademikus, pemerhati masalah sosial dan pejabat negara berkembang.


0 Response to "Memberdayakan Si Miskin Secara Berkelanjutan"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar