Ritus Kopi: Berawal dari School of Wise hingga Liminalitas


Sebelum saya menulis lebih jauh ada baiknya saya jelaskan makna  “ngopi”. Di dalam tulisan ini saya mengartikan “Ngopi” adalah kegiatan menikmati (minum) olahan kopi bersama-sama di kedai , warung kopi, kopitiam atau café.

Kebiasaan “ngopi” di Indonesia tidak ada yang tahu kapan persis munculnya, namun di setiap daerah terutama di Aceh, Singkawang, Pontianak, Belitung, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta atau bahkan Jakarta tradisi “ngopi” sudah menjadi gaya hidup dan menjadi kebutuhan. 

“Ngopi”, tidak bisa dipisahkan dari keberadaan warung kopi , kedai kopi, kopitiam atau café. Apabila ditelik lebih dalam lagi akar sejarahnya maka kita akan mendapatkan fakta bahwa munculnya warung kopi (warkop) pertama kali di Arab sekitar tahun 1400 M, tepatnya di Kota Mekkah.  Lalu sekitar tahun 1475 M warkop pertama di buka di Konstantinopel (kesultanan Ottaman) dengan nama Kiva Han (pencegah kantuk).

Di Konstantinopel kala itu warkop dikenal juga dengan sebutan ”school of wise”. Dengan datang ke warkop dan minum kopi orang semakin pintar, karena di sana bisa mendengarkan musik, berbincang-bincang tentang berbagai hal, atau sekadar mendengar diskusi-diskusi yang berkembang.

Warkop juga merambah ke Eropa, adalah Venice (Italia) yang pertama kali warkop dibuka  pada tahun 1654 M. Masih di awal-awal abad XVI itu warkop pertama di buka di London. Pada awal abad XVII warkop yang kemudian sangat kesohor Edward Lloyd’s Coffee dibuka di kota yang sama. Kala itu “ngopi” hanya bisa dilakukan oleh golongan bangsawan sebab harga kopi yang selangit.

Dari Inggris kopi dibawa ke ”dunia Baru” (Amerika) pada abad XVI.  Kopi begitu pesat berkembang sehingga di London pada akhir abad ke-XVII tercatat sudah 300 warkop beroperasi. Dari Inggris kopi masuk ke Belanda, dan warkop persia dibuka pertama kali di negara ini tahun 1713.

Belanda kemudian menyebarkan kopi ke India dan Indonesia sekitar pertengahan abad XVII.  Di Indonesia, khususnya di Jawa warkop pertama kali muncul di Jogjakarta sekitar tahun 1950-an dengan nama “angkringan”.  Kata angkringan berasal dari bahasa Jawa yang berarti nangkring atau duduk santai.   Begitulah sekilas perkembangan minum kopi di warkop (“ngopi”), yang disinyalir sebagai ”the most consumed baverage in the planet”.

Ruang Pelepas Penat

Warung kopi, dimana sekarang sering memakai istilah cafe, bukanlah sekedar institusi sosial yang terkait dengan pedagangan dan jasa saja. Warkopi cenderung menjelma menjadi institusi sosial yang menjadi arena dimana hampir tidak ada sekat-sekat batas sosial. Warkop juga telah menjadi bagian dari ruang interaksi sosial.

Warkop  tak hanya sebagai tempat penggila dan penikmat kopi bercengkrama dengan rasa, tetapi juga sebagai tempat untuk mendapat pelbagai informasi dan transaksi, berdiskusi. Selain itu warkop juga berfungsi sebagai tempat untuk mencari inspirasi atau sejenak melepaskan kepenatan rutinitas bekerja.

Budaya “ngopi” juga melanda kantor Kemenko Kesra dimana pada saat jam istirahat banyak pegawai yang “ngopi” sambail berdiskusi ringan seputar sepak bola, keruwetan pekerjaan, hingga saol pilpres yang banyak “kampanye hitamnya” bahkan sering pula muncul ide-ide segar yang mucul saat  “ngopi”.

Tidak dipungkiri bahwa terbentuknya komunitas-komunitas hoby di Kemenko Kesra seperti MB 3 Fhising Club, komunitas pecinta batu cincin, Kesra futsal club (KFC), Kesra Motor Community  (KMC)  hingga kegiatan touring motor berawal diskusi dari warkop. Warkop seakan menjadi “oase”  ditengah himpitan pekerjaan.

Warkop di kantor juga sering dimanfaatkan untuk melepas segala kepenatan dan beban  sewaktu berkerja. Memang seh bisa juga menikmati kopi di ruang kerja sendiri namun suasanannya pasti berbeda apabila menikmati kopi bersama di warkop. Kalau memakai bahasa sosiologi, “ngopi” adalah ‘liminalitas’.

Liminalitas oleh sosiolog dimaknai sebagai ruang untuk melepaskan segala penat dari rutinitas yang membelenggu, sejenak lepas dari struktur atau oleh Viktor Turner disebut sebagai “kondisi anti struktur”.  Di dalam arena ”ngopi” sudah tidak amat penting lagi atasan dan bawahan, kaya maupun miskin, bekerja maupun pengangguran, priyayi maupun rakyat biasa, bangsawan atau bukan, bahkan ulama bisa berkelakar dengan umat.

Ritus “ngopi” dari sudut teori liminalitas kebudayaan, justru merupakan arena untuk memaknai kembali atau memberikan energi produktif kepada bangunan komunitas kantor. Didalamnya juga terjadi negoisasi relasi-relasi terhadap bentuk-bentuk hubungan sosial baru. Liminalitas juga  berperan untuk memungkinkan tumbuhnya alternatif-alternatif baru, kreasi positif, bahkan oposisi-kritis terhadap kondisi, aturan dan tatanan sosial yang ada.

0 Response to "Ritus Kopi: Berawal dari School of Wise hingga Liminalitas"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar