Seba, Cara Baduy Ungkapkan Syukur


Suku Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, baru saja merayakan tradisi "Seba". Tetua suku dengan diiringi rombongan warga suku Baduy yang jumlahnya mencapai lebih 600 orang, mendatangi "Bapak Gede" atau Bupati H Mulyadi Jayabaya dan "Ibu Gede", Gubernur Ratu Atut Chosiyah untuk menyerahkan hasil bumi suku Baduy, seperti pisang, beras, gula, petai.

"Seserahan" itu laksana upeti untuk ’Bapak Gede’ dan ’Ibu Gede’ sebagai kepala pemerintahan. Namun warga Baduy memaknainya sebagai wujud ungkapan syukur, karena selama setahun hasil pertanian dan perkebunan mereka melimpah.

Rasa syukur itulah mereka ujudkan dalam perayaan Seba, atau menyerahkan hasil panen pada pengusasa setempat.

Perayaan tradisi ’Seba’ sudah berlangsung ratusan tahun, bahkan sejak zaman Kesultanan Banten abad 16-17 sudah ada, mereka setiap tahun wajib melaksanakan, karena peninggalan nenek moyang itu.

Tradisi Seba ini digelar setelah perayaan Kawalu selama tiga bulan mereka menjalankan puasa yang dilaksanakan setiap bulan hanya satu kali itu.

Selama Kawalu pemukiman warga Baduy Dalam (pakaian putih-putih) yang tersebar di kampung Cikawartana, Cikeusik dan Cibeo tertutup bagi warga luar atau pengunjung.

Namun, dalam upacara ’Seba’ kali ini, Minggu (18/4) malam, di Gedung Pendopo Pemkab Lebak dan Gedung Pendopo Provinsi Banten, Senin (19/4) dinamakan ’Seba Leutik’ atau Seba kecil.

Seba kecil karena jumlah warga Baduy Luar dan Baduy Dalam yang datang dengan jumlah kecil yakni 605 orang. Sedangkan, tahun 2009 lalu dinamakan ’Seba Gede’ atau seba besar hingga mencapai 2.000 orang.

Setiap ’Seba Leutik’ itu, warga Baduy tidak diperbolehkan membawa alat-alat dapur seperti parangi dan dulang. "Seba ini berdiri sejak adanya komunitas Baduy di Kabupaten Lebak," kata Jaro Dainah sebagai kepala pemerintahan Baduy yang juga Kepala Desa Kanekes.

Dainah mengatakan, selama setahun ini kawasan Baduy sebagai tanah ulayat setelah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 31 tahun 2001 tidak ditemukan lagi pembalakan liar di kawasan Baduy.

"Kami merasa dilindungi dengan Perda itu sehingga masyarakat Baduy kini lebih leluasa untuk mengarap tanah ulayat," katanya.

Menurut dia, penduduk Baduy berjumlah 11.050 jiwa itu menghuni lahan seluas 5.108 hektare itu, dan seluas 3.000 hektare di hutan lindung aman dan tentram.

Tahun-tahun lalu kawasan Baduy kerapkali dijadikan pembalakan liar yang dilakukan orang-orang luar kawasan Baduy, termasuk hutan lindung.

Atas kejadian tersebut, warga Baduy marah besar dan meminta perlindungan kepada Bupati dan aparat penegak hukum untuk menindak keras pelaku pembalakan liar itu.

Selain itu, juga penyerobotan tanah ulayat terutama di blok perbatasan dengan warga luar kawasan Baduy. "Saat ini, warga Baduy merasa aman dan damai dan mengucapkan terimakasih kepada kepala daerah, DPRD setempat dan penegak hukum," kata Dainah yang disampaikan pada ’Seba’ di Pendopo Pemkab Lebak, Minggu malam.

Namun demikian, kata Dainah, warga Baduy minta perbaikan jalan Leuwidamar-Ciboleger sebagai batas Baduy diaspal karena saat ini rusak parah dan berlubang-lubang.

Jalan sepanjang delapan kilometer, tentu berdampak terhadap perekonomian warga Baduy karena akses lalu lintas menjadi terhambat.

Masyarakat Baduy yang hidupnya mengandalkan pertanian huma ladang, setiap hari mengangkut pisang, buah-buahan ke luar daerah.

Akibat kondisi jalan rusak, ujar dia, pendapatan petani Baduy juga menurun karena tingginya biaya angkutan itu.

Selain itu, permintaan warga Baduy ingin adanya program sertifikat tanah bersubsidi melalui proyek nasional atau prona.

Sebab warga Baduy kini memiliki tanah di luar kawasan seperti Kecamatan Bojongmanik, Sobang, Leuwidamar, Muncang dan Cirinten seluas 700 hektare. "Kami ingin tanah itu bersertifikat dan memiliki keabsahan secara hukum," jelasnya.

Saedi putra (45) tanggungan 12 saksi jaro 7 mengatakan berdasarkan hasil keputusan lembaga agama dan adat Baduy pelaksanaan Seba tahun ini dirayakan cukup sederhana karena dinamakan ’Seba Leutik’.

"Kami merayakan ’Seba’ selalu bergantian ada ’Seba leutik’ juga ada ’Seba gede’. Begitu juga fenomena alam ada siang juga ada malam," kata Saedi Putra yang memimpin ritual ’Seba’ dihadapan Bupati Lebak dan pejabat derah itu.

Jalan kaki

Ayah Mursid (35), seorang kepala Lembaga Adat Baduy Dalam (Tangtu Jaro 3), memiliki kekuasaan Cibeo, Cikeusik, Cikawartana, bersama Nasinah (45), jaro tangtu Cikawartana, melakukan perjalanan menuju Pemkab Lebak yang cukup melelahkan sekitar 12 jam, dan mereka berjalan kaki hingga sepanjang 20 kilometer menembus perbukitan Gunung Kendeng di kawasan Baduy.

Warga Baduy Dalam hingga kini tidak diperbolehkan berpergian menggunakan kendaraan karena dilarang oleh agama dan adat mereka.

Sedangkan, Baduy penamping diperbolehkan berpergian menggunakan angkutan mobil, kereta api atau kapal terbang.

Ayah Mursid berjalan kaki pulang pergi sekitar 140 kilometer sejak dari kampung halaman, Rangkasbitung, dan Serang.

Selama perjalanan, ia beberapa kali melepaskan rasa lelah dengan beristirahat di sepanjang jalan. "Kami berjalan kaki selama empat hari sejak Minggu pagi dan kembali pulang Kamis sore," kata Ayah Mursid.

Prosesi upacara Seba suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan menjadikan ketetapan Lembaga Adat Masyarakat Baduy yang diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. "Seba itu titipan adat yang harus dilaksanakan karena khawatir kami kualat," kata Ayah Mursid.

Namun demikian, kendati melelahkan Seba itu,ia merasa senang selain bisa bertemu langsung bersama Bupati dan aparat Muspida setempat.

Perayaan Seba merupakan ungkapan rasa syukur dan menjalin silatuhrahmi bagi warga Baduy kepada bupati, gubernur dan pejabat daerah.

Sumber : Kompas online

0 Response to "Seba, Cara Baduy Ungkapkan Syukur"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar